Mesir merupakan negara Arab di Afrika Utara yang jaraknya cukup jauh dari Indonesia. Namun, jarak yang jauh bukan menjadi hambatan bagi terciptanya kerja sama yang intensif dan saling menguntungkan. Duta Besar Indonesia untuk Mesir, Abdul Rahman Muhammad Pachir, menuturkan Mesir dikenang oleh bangsa Indonesia sebagai negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia. “Pengakuan kemerdekaan ini dinyatakan pada tanggal 18 November 1946, selang setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,” tuturnya di Auditorium Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM, Selasa (12/10).
Dalam acara Bedah Buku Jalur Gaza Tanah Terjanji, Intifada, dan Pembersihan Etnis yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UGM, Abdul Rahman mengatakan apa yang terjadi di Mesir berpengaruh di Indonesia, termasuk pengaruh Islam. Dari interaksi yang dilakukan kedua negara, banyak karya tulisan para ulama Indonesia yang diterbitkan di Mesir.
Demikian pula dengan gerakan nasionalisme di Mesir, aspirasi masyarakat Mesir yang ingin terlepas dari imperialisme melalui para tokoh dan ulama menginspirasi pergerakan di Indonesia. “Itu yang membawa pengaruh mahasiswa di Indonesia untuk melakukan pergerakan kemerdekaan Indonesia,” katanya.
Hampir semua Presiden Indonesia telah melakukan kunjungan ke Mesir. Namun, Presiden Mesir, Husni Mubarok, hanya sekali melakukan kunjungan ke Indonesia sejak ia berkuasa pada tahun 1982.
Menurut Abdul Rahman, kunjungan kenegaraan menunjukkan kepercayaan sebuah negara atas negara lain dan ini menunjukkan arti penting negara itu. “Nampaknya kita membutuhkan tokoh-tokoh seperti Presiden Soekarno dan Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser, untuk menyatukan kedua negara,” jelasnya.
Buku Jalur Gaza Tanah Terjanji, Intifada, dan Pembersihan Etnis karya Trias Kuncahyono, wartawan Kompas memberi gambaran jelas mengenai konflik Israel dan Palestina. Cerita buku setebal 325 halaman ini berawal dari Mesir, negeri yang kaya dalam sejarah. Kemudian, tentang sejarah Gaza yang menjadi topik penting, kemakmuran tanah terjanji, termasuk Kota Jabaliya, bumi yang melahirkan gerakan-gerakan intifada, dan berbagai peristiwa terkait dalam upaya perdamaian Timur Tengah.
Anies Baswedan yang memberikan pengantar dalam buku ini menyebutkan Palestina dan segala informasi biasanya diperoleh dari penulis asing. Pembaca hanya mendapatkan terjemahannya dalam bahasa Inggris, Arab, atau Perancis. Dengan terbitnya buku ini tentu menjadi menarik karena mampu mengisi kekosongan literatur selama ini.
Selain Abdul Rahman Muhammad Pachir, turut membedah buku ini, Duta Besar Mesir untuk Indonesia, Ahmad Al Quasini, dan bertindak selaku moderator Dr. Siti Muti’ah Setiawati, M.A., dosen S-1 dan S-2 Ilmu Hubungan Internasional UGM serta Program S-2 dan S-3 Kajian Timur Tengah Sekolah Pascasarjana UGM. (Humas UGM/ Agung)