YOGYAKARTA-Seni pertunjukan selawatan pada dasarnya ialah representasi pembacaan kitab-kitab mawlid yang bentuk penyajian aslinya masih dipraktikkan dalam kultur pesantren tradisional. Model selawatan pesantren ternyata juga dipraktikkan oleh masyarakat subkultur pesantren yang berlokasi di luar kompleks pesantren. Walaupun pengaruh-pengaruh budaya musik pop tidak dapat dipungkiri keberadaannya, tetapi struktur pokok selawatan pesantren masih tetap bertahan karena tetap mengacu pada teks aslinya. “Selawatan pesantren dapat dikategorikan sebagai seni musik. Di samping terlihat dari melodi lagu-lagu selawatan, dimensi-dimensi musikal religius selawatan juga tercermin pada pembacaan doa selawatan dan bait-bait riwayat,†papar Drs Andre Indrawan, M.Hum., M.Mus.St., L.Mus.A., ketika mempertahankan disertasinya yang berjudul Selawatan pada Kultur dan Subkultur Pesantren Tradisional Kajian Representasi Tradisi Musikal Relijius ‘Mawlid’ dan Transformasinya di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (15/10) di Sekolah Pascasarjana UGM.
Hadir sebagai penguji dalam promosi doktor tersebut, Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc. (Kaprodi S-3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa/Penguji), Prof. Dr. Djoko Suryo, M.A. (Promotor), Prof. Dr. Syamsul Hadi, S.U., M.A. (Promotor), Prof. Dr. Victor Ganap, M.Ed. (penguji), Dr. M. Agus Burhan, M.Hum. (Penguji) serta Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A. (Penguji).
Dijelaskan Andre, pembacaan musikal memiliki kecenderungan monoton dalam pengertian selalu menuju ke nada pusat walaupun dibawakan dengan improvisasi melodis yang fluktuatif dalam batasan-batasan tata baca tajwid. Walaupun lagu-lagu selawatan menggunakan melodi-melodi sekuler yang dipenuhi oleh lompatan-lompatan tonal yang normatif, pengulangan frase-frase melodis yang dipengaruhi oleh pengolahan lirik mengindikasikan kecenderungan monotonus yang merupakan sifat-sifat melodi religius. “Data dari Dinas Kebudayaan dapat dimaklumi hampir semua seni pertunjukan islamis dapat dikategorikan sebagai selawatan karena jenis-jenis yang digolongkan kepada jenis nonselawatan juga menyebut dirinya sebagai atau paling tidak merefleksikan sebagai selawatan,†imbuh Andre yang juga dosen Jurusan Musik, Fakultas Seni Pertunjukkan ISI Yogyakarta ini.
Karakteristik hubungan di antara selawatan pesantren dengan variannya terlihat pada dominasi pengaruh-pengaruh Islam dan pengaruh lokal. Semakin dekat keberadaan seni pertunjukan islamis nonpesantren dengan kultur pesantren, muatan-muatan Islam pada seni tersebut berkurang dan demikian pula sebaiknya. “Maka bisa disimpulkan bahwa refleksi musikal dalam wujud tindakan positif terhadap fenomena interpretasi pro maupun kontra hukum musik dalam Islam,†kata pria kelahiran Bandung, 10 Mei 1961 ini.
Sampel selawatan pesantren yang dikaji dalam selawatan pesantren ini meliputi dua varian, yaitu Simthuddurrar dalam peringatan-peringatan Hari Asyura di Pondok Pesantren Al Munawwir, Bantul, dan Haul Kyai Nur Iman di halaman Masjid Jami’, Mlangi, Sleman, serta Dzibaiyah dalam acara mingguan santri dan peringatan tahunan Muharoman di PP Al Munawwir. Sampel varian selawatan nonpesantren direkam di beberapa lokasi penelitian di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Sleman, dan Gunung Kidul.
Dalam ujian tersebut, Andre berhasil lulus dengan predikat cum laude. (Humas UGM/Satria)