Menjelang akhir abad XVIII, pada 5 Jumadilawal 1716 Saka (1790), Pakubuwana IV (1788-1820) menetapkan motif hias alas-alasan Pinarada Mas sebagai motif larangan, sebuah motif yang dianggap sakral, setara kesakralannya dengan pusaka lain.
Menurut dosen Institut Seni Indonesia Surakarta, Drs. Guntur, M. Hum., sakralitas motif hias alas-alasan berakar pada konsepsi supranatural dan mistis tentang alas dan gunung. Alas dan gunung merupakan situs sentral dan fundamental, yang melalui kepercayaan dan pandangan hidup orang Jawa dimapankan. Bersama dengan Laut Selatan, alas (Krendhawahana), dan gunung (Merapi dan Lawu), menjadi pilar kosmik Keraton Surakarta. “Pandangan supranatural terhadap alas dan gunung inilah yang menjadi energi penggerak dan pengukuh eksistensi kreasi simbolik dan estetik batik Keraton Surakarta,” ujarnya, Kamis (14/10), saat melakukan ujian terbuka Program Doktor UGM.
Terlindung dalam pagar otoritas raja, kata Guntur, motif hias alas-alasan terhindar dari perubahan sepanjang masa. Motif ini hanya dapat dipakai oleh raja, pengantin, dan penari Bedhaya Ketawang di lingkungan Keraton Surakarta. Sebuah monopoli yang terlarang bagi rakyat biasa, kecuali raja dan keluarganya. Peruntukan yang khusus demikian menjadikannya sebagai salah satu benda pusaka di antara benda upacara atau regalia lainnya, yaitu sebuah motif yang secara historis dan kultural selalu digunakan sebagai busana tari Bedhaya Ketawang dalam ritual penobatan raja (jumenengan) dan ulang tahun penobatan raja di lingkungan Keraton Surakarta.
“Itulah sebabnya tari tersebut dikategorikan sebagai tari upacara, tari yang diyakini diciptakan oleh makhluk halus, Kanjeng Ratu Kidul dan selalu hadir serta terlibat dalam melatih seraya menarikannya. Tidak hanya menjadi dasar kesakralan tari Bedhaya Ketawang, namun juga motif hias yang melekat pada busana tari tersebut,” katanya.
Mempertahankan disertasi “Motif Hias Alas-Alasan pada Batik dalam Ritual Tingalan Jumenengan dan Perkawinan di Keraton Surakarta: Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna”, suami Atik Kusmiati ini menuturkan tari Bedhaya Ketawang mengandung nilai-nilai religi sehingga ia diklasifikasikan sebagai tari religi. Tari yang diyakini sebagai ekspresi cinta mendalam penguasa Laut Selatan, Kanjeng Ratu Kidul atau Kanjeng Ratu Kencana Sari, kepada Sultan Agung sehingga termasuk dalam tari percintaan.
Di bagian lain pidatonya, Guntur mengungkapkan motif hias alas-alasan juga merupakan representasi perlindungan. Dalam konteks perkawinan, motif ini merepresentasikan “raja”, gumelaring jagad, harapan, perlindungan, dan kesuburan. Motif hias alas-alasan adalah ekspresi estetis dan simbolik. Keduanya dilandasi oleh konsepsi penting alas dan/atau gunung, yakni sebuah keyakinan mistis, kesadaran historis dalam upaya meraih harmoni antarmanusia, lingkungan, dan Tuhan. “Basis kreasi estetik yang esensial dan fundamental itulah yang terajut pada motif tersebut sehingga menjadikannya sarat pesan dan makna dalam kehidupan yang lebih baik,” pungkas ayah Mandira Citra Perkasa dan Sekar Ayu Asmara, yang dinyatakan lulus Program Doktor Seni Pertujukan UGM. (Humas UGM/ Agung).