YOGYAKARTA- Perkembangan geografi di tingkat nasional dan dunia banyak mengalami kendala dalam hal pendidikan dan risetnya. Geografi di tingkat dunia bergeser dan berintegrasi dengan berbagai bidang ilmu, seperti spasial sains, geosains, regional planning dan lingkungan. Sementara itu, geografi di Indonesia masih bertahan pada eksistensi geografi yang holistik mengkaji aspek fisik, manusia, wilayah, dan lingkungan serta sistem informasi. “Pendidikan dan riset geografi, khususnya di Indonesia, dengan kondisi ini maka secara umum perlu ditata kembali,†kata Dekan Fakultas Geografi yang juga Ketua Umum Ikatan Geograf Indonesia (IGI), Prof. Dr. Suratman Worosuprojo, ketika berbicara dalam Seminar Arah Pendidikan dan Riset Geografi di Indonesia, Sabtu (16/10), di Fakultas Geografi UGM.
Suratman menambahkan beberapa kendala di lapangan yang masih dijumpai terkait dengan pengembangan pendidikan geografi, antara lain inkonsistensi materi ajar geografi dari tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi; guru yang tidak memiliki ijazah geografi; jumlah jam mengajar di SMA yang kurang; serta geografi tidak diajarkan di SMA IPA. “Di perguruan tinggi, geografi masih masuk di kelompok IPA dan IPS,†terangnya.
Pendidikan dan riset geografi di Indonesia terus mengarah pada kompetensi yang meyakinkan dapat menyelesaikan masalah nasional dan global. Sudah sejak lama geografi dipelajari, baik pada era deskriptif kualitatif, deskriptif kuantitatif, maupun sekarang yang memasuki era kuantitatif matematis eksperimental dan model. “Mengingat pentingnya ilmu ini, maka para geograf perlu memberikan cara mengembangkan spasial intelegensia yang sangat diperlukan bagi generasi penerus. Apalagi perkembangan teknologi penginderaan jauh dan SIG (sistem informasi geografi) yang pesat dan mudah,†kata Suratman.
Di tempat yang sama, Sekretaris I IGI, Prof. Dr. Hartono, D.E.A., D.E.S.S., mengungkapkan di samping beberapa kendala tersebut, perkembangan penelitian geografi justru semakin menggembirakan. Model-model spasial, ekologis, dan wilayah dengan dukungan data multivariate geografis makin nyata dalam representasinya. “Penelitian geografi dicirikan dengan bidang, tahap pembangunan, dan orientasi sektoral yang berkembang dalam kegiatan masing-masing institusi,†ujar Hartono yang juga Direktur Sekolah Pascasarjana UGM ini.
Sementara itu dalam paparannya, Sekjen Asosiasi Guru Geografi Indonesia yang juga guru geografi SMA Negeri 34 Jakarta, Tony Prasetyarto, menyinggung mengenai kurikulum. Kurikulum geografi di SMA merupakan bagian yang integral satu kesatuan dari kurikulum yang ditetapkan satuan pendidikan yang bersangkutan. Ini artinya seorang guru geografi harus melaksanakan pengajaran berdasarkan kurikulum yang telah disepakati atau dipakai di SMA yang bersangkutan. “Maka ketika seorang guru geografi di sekolah merumuskan silabusnya, harus mengikuti standar yang telah ditetapkan pemerintah,†kata Tony.
Ia juga memberikan gambaran beberapa fakta dan tantangan yang biasa dijumpai oleh guru geografi, seperti ijazah yang harus dimiliki ialah sarjana (S-1) berlatar belakang geografi dan akta IV, seringnya kejadian fenomena geosfer terutama yang ada di sekitar mewajibkan guru geografi memberikan penjelasan kepada peserta didik, serta olimpiade kebumian yang materinya ada yang beririsan dengan materi geografi.
Dalam forum seminar ini juga disampaikan adanya revisi isi kurikulum geografi yang meliputi 5 aspek yang dipelajari dari tingkat dasar hingga SMA. Kelima aspek itu meliputi gejala alam dan sosial, sumber daya, dan pengembangan wilayah, pelestarian lingkungan hidup, mitigasi bencana, dan sistem informasi geografi. (Humas UGM/Satria)