Dengan mengusung tema “Fight Against Poverty and Corruption”, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis (BEM FEB) UGM menggelar aneka kegiatan untuk berpartisipasi dalam pencegahan tindak korupsi di Indonesia. Salah satu wujud kegiatan yang dilakukan adalah penyelenggaraan Workshop “Ekonomi Bebas Korupsi” dengan membahas tema besar “Ekonomi Bebas Korupsi, Indonesia Sejahtera: Menyingkap Korupsi Kelembagaan dalam Perspektif Ekonomika dan Bisnis Menuju Indonesia Sejahtera”.
Workshop yang berlangsung pada hari Sabtu (16/10) di Auditorium MM UGM ini menghadirkan narasumber, di antaranya Prof. Dr. H. Amien Rais, yang mengupas “Hegemoni Korupsi yang Menjangkiti Bangsa”, Pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto, yang memaparkan permasalahan “Data dan Fakta Korupsi yang Menggerogoti Bangsa”, dan Direktur Utama Pertamina, Ir. Galaila Karen Agustiawan, yang mendiskusikan “Dampak Bahaya Korupsi dalam Kegiatan Operasional BUMN”.
Selain itu, turut memberikan sumbang pemikiran, pengamat ekonomi, Rimawan Pradiptyo, Ph.D., dengan materi “Menguak Tabir Kelam Korupsi yang Menjangkiti BUMN”, mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan dan dosen FEB UGM, Anggito Abimanyu, Ph.D., yang menerangkan “Penegakan Reformasi Birokrasi sebagai Upaya Pembentukan Karakter Birokrasi Antikorupsi”. Di samping itu, disampaikan pula pemaparan hasil penelitian Pusat Kajian Antikorupsi UGM (PuKAT) berjudul “Peranan Etika dan Transparansi dalam Menciptakan Lembaga Anti Korupsi” dan pemaparan Hanta Yuda A.R., S.I.P., seorang peneliti dari The Indonesia Institute bertajuk “Bangsa yang Ideal Tanpa Korupsi serta Menciptakan Generasi Antikorupsi”.
Saat mengupas “Modelling Tiga Pilar Penanggulangan Korupsi dan Pencucian Uang di Indonesia”, Rimawan Pradiptyo menilai UU Antikorupsi di Indonesia memiliki beberapa kelemahan yang mesti dikritisi. UU Antikorupsi saat ini hanya mencakup tindak pidana korupsi di sektor publik dan belum mencakup tindak korupsi di sektor swasta. Selain itu, UU Antikorupsi tidak mengatur kegiatan pascakorupsi (money laundering) yang sesungguhnya sulit untuk dipisahkan dari korupsi itu sendiri. “UU ini tidak menjangkau tindak korupsi yang lebih luas, misalnya untuk kasus-kasus money politic, pemilu DPR, pilpres, pilleg, UU Suap dan UU Perbankan,” ujarnya.
Kelemahan lain, katanya, UU ini kurang memperhatikan rasionalitas pelaku/calon pelaku korupsi. Pencantuman hukuman maksimal justru merangsang pelaku/calon pelaku untuk melakukan perhitungan tingkat korupsi yang menguntungkan. Dengan pencantuman denda maksimum di UU tersebut membuat efek jera melemah karena seiring dengan berjalannya waktu, inflasi di Indonesia sangat tinggi. “Semakin tinggi inflasi, semakin rendah efek jera denda. Hal ini menjadikan kebutuhan amandemen UU ini makin mendesak,” terangnya. (Humas UGM/ Agung)