YOGYAKARTA-Tan Malaka, yang pernah diberikan gelar pahlawan nasional pada tahun 1963 oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres RI Nomor 53 tahun 1963 dan ditandatangani oleh Presiden Soekarno 28 Maret 1963, seakan-akan menghilang dari buku-buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah pada masa Orde Baru, bahkan hingga saat ini. Kiprah Tan Malaka dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia seolah tenggelam begitu saja. Tak hanya itu, persoalan makam Tan Malaka pun hingga saat ini masih harus diperjelas kembali.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi dan launching buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 3: Maret 1947, karangan Harry Poeze, seorang sejarawan dan penulis biografi Tan Malaka dari Belanda. Diskusi bertempat di Auditorium Pascasarjana Fisipol UGM, Rabu (20/10). Hadir dalam diskusi tersebut, Nanang Indra Kurniawan, dosen Ilmu Pemerintahan UGM, dan Eric Hiarej, dosen Hubungan Internasional UGM.
Dalam kesempatan itu, Poeze mengungkapkan dirinya berupaya menulis secara objektif Tan Malaka dan tidak ‘ke-kirian’. Poeze melihat masih banyak karya sejarah yang ditulis secara tidak objektif dan mengesampingkan fakta atau data. “Saya tulis secara objektif dan tidak bersifat ‘ke-kirian’. Masih banyak fakta dan data dari Tan Malaka yang perlu diperjelas kembali,” terang Poeze.
Ia melihat sosok Tan Malaka cukup penting, khususnya jika dikaitkan dengan pembahasan politik dan komunisme di kawasan Asia Tenggara, bahkan dunia. Tan Malaka adalah seorang inspirator bagi Soekarno dan kemerdekaan RI, yang dalam konteks saat ini cocok dijadikan model/contoh bagi masyarakat Indonesia. “Sangat cocok bagi model masyarakat Indonesia, terutama sebagai tokoh politik yang berjuang tanpa pamrih, bukan seperti tokoh politik kebanyakan di Indonesia sekarang ini,” tuturnya.
Dipaparkan Poeze, pada Maret 1922, Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa, dan Belanda. Menurut Poeze, Tan ditembak mati di Selopanggung pada 21 Februari 1949. Tan Malaka ditembak mati atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya, di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. “Beberapa waktu lalu, yakni 12 November 2009, kita telah mencoba memeriksa DNA dari kerangka mayat yang dikubur dan diduga sebagai Tan Malaka. Namun, kita masih perlu data pelengkap agar semuanya clear,” katanya.
Sementara itu, Eric Hiarej mengatakan buku-buku sejarah seputar Tan Malaka merupakan sebuah produk kultural dan budaya yang semakin menambah khasanah wawasan kebangsaan Indonesia. Hal itu sekaligus menegaskan bahwa sejarah, terutama di Indonesia, itu tidak lurus dan berkembang. “Sekaligus sebagai sumbangan pemikiran bagi bangsa Indonesia bahwa sejarah Indonesia itu tidak lurus dan berkembang,” kata Eric.
Hampir senada dengan itu, Nanang Indra Kurniawan mengatakan keberadaan Tan Malaka dihubungkan dengan makna pahlawan. Dalam pandangannya, tidak ada yang objektif untuk menyematkan gelar pahlawan bagi seorang tokoh. Kebijakan itu sangat tergantung dengan kepentingan rezim dan pemegang keputusan politik yang berkuasa waktu itu. “Pemberian gelar pahlawan bagi tokoh sangat terkait dengan rezim dan pemegang kebijakan, termasuk imajinasi politik suatu bangsa ke depan, bagaimana nanti dampaknya kalau tokoh itu diberikan gelar pahlawan,” kata Nanang. (Humas UGM/Satria)