YOGYAKARTA- Sensus penduduk (SP 2010) telah dilaksanakan bulan Mei lalu. SP 2010 merupakan sensus penduduk yang keenam setelah Indonesia merdeka. Sensus penduduk dilaksanakan pada tahun 1961, 1971, 1980, dan 2000. Sensus juga pernah dilaksanakan pada masa Pemerintahan Hindia-Belanda, yakni tahun 1920 dan 1930. Pentingnya kegiatan sensus, antara lain, bertujuan untuk memperbaharui data dasar kependudukan, termasuk parameter demografi, basis utama proyeksi penduduk dekade 2010 dan 2020, sumber data untuk program targetting ( beasiswa, lansia, bantuan perumahan, dll). “Di samping itu, juga untuk data dasar bagi semua departemen/instansi untuk menetapkan kebijakan dan program dan target ke depan,” kata Dr. Hamonangan Ritonga, Direktur Pengembangan Metodologi Sensus dan Survei Badan Pusat Statistik (BPS), ketika berbicara pada Kuliah Umum Program Magister Studi Kebijakan UGM, Kamis (21/10).
Hamonangan menambahkan meskipun hasil sensus penduduk kemarin tidak bisa 100% datanya sempurna, paling tidak dibandingkan dengan sensus tahun-tahun sebelumnya lebih lengkap. Apalagi variabel yang dipakai juga lebih lengkap hingga 43 variabel, mulai dari kemampuan baca tulis, kelahiran atau kematian 1 tahun yang lalu, hingga pemakaian bahan bakar untuk memasak, juga kepemilikan fasilitas komunikasi, misalnya telepon. “Memang tidak bisa 100% lengkap data, tapi kita yakin sampling error tidak banyak, apalagi variabel yang kita pakai lebih lengkap juga,” imbuhnya.
Dari hasil sensus tahun ini, didapati penduduk Indonesia berjumlah 237,6 juta (pertumbuhan penduduk 1,49%) atau lebih tinggi dari angka proyeksi nasional 1,34% atau sekitar 234 juta. Hal ini yang menjadi pertanyaan, apa yang salah dengan kondisi tersebut? Apakah BKKBN salah dalam menerapkan program KB ataukah justru keberhasilan Depkes untuk meningkatkan taraf hidup dan kesehatan masyarakat Indonesia? “Memang itu bisa banyak analisis, keberhasilan Depkes dalam peningkatan taraf kesehatan sehingga usia hidup makin panjang atau memang BKKBN yang gagal dalam program KB-nya,” ujar Hamonangan.
Hasil sensus penduduk juga dapat digunakan untuk melakukan penilaian terhadap implikasi kebijakan pembangunan, seperti di sektor ketahanan pangan, ketenagakerjaan, kemiskinan, lingkungan hidup, kesehatan hingga pendidikan.
Di sektor ketahanan pangan, misalnya, persoalan penduduk ini menjadi sebuah ancaman karena terjadinya penurunan luas lahan produksi akibat konversi (0,1%/tahun). Sementara itu, bertani selama ini merupakan pekerjaan utama 40% penduduk Indonesia (42,82 juta), sedangkan jumlah penduduk miskin juga masih tinggi sekitar 31 juta jiwa dengan rincian 19% lebih di desa, dan 11% di kota. “Produksi pertanian kita itu katanya surplus, tapi kok masih saja impor beras? Nah, ini juga jadi soal jika jumlah penduduk kita tak terkendali,” katanya.
Belum jika hasil sensus dikaitkan dengan persoalan ketenagakerjaan. Kesempatan kerja pada sektor formal semakin terbatas, dengan pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi. Di sisi lain, jumlah pengangguran masih tinggi, sekitar 8%. Namun sayang, outsourcing justru masih diakomodasi oleh pemerintah. Padahal, kebijakan ini dianggap merugikan pihak pekerja. “Maknanya, dengan kenaikan jumlah pengangguran atau pekerja formal yang sebenarnya masih menganggur, pemerintah atau sektor swasta harus siap menciptakan lapangan kerja lagi,” pungkas Hamonangan. (Humas UGM/Satria)