YOGYAKARTA- Wasior adalah satu dari tiga kecamatan di Kabupaten Teluk Wondama, yang mengalami kerusakan paling hebat pasca banjir bandang, 4 Oktober 2010. Peristiwa yang merenggut ratusan jiwa ini terjadi di pagi hari pukul 08.00 WIT ketika warga mulai bersiap-siap melakukan aktivitas. Menurut data posko tanggap darurat Wasior per 16 Okotber 2010, 153 orang ditemukan dalam kondisi meninggal, 158 dinyatakan hilang, 165 mengalami luka berat, dan 2.862 orang lainnya mengalami luka ringan.
Dr. Ali Awaludin, dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik (FT) UGM, yang belum lama ini berkunjung di lokasi bencana menuturkan dari kesaksian warga, aliran banjir pada awalnya membawa material pasir atau lumpur. Kemudian, diikuti oleh batang-batang pohon dan terakhir oleh batu-batu besar.
Selain itu, berdasarkan hasil pengamatan di lokasi bencana, batang-batang pohon yang ikut hanyut memiliki ukuran sangat besar. Pohon berdiamater 1 meter atau lebih sangat sering dijumpai dengan panjang sekitar 20 meter. Pohon-pohon tersebut saat ditemukan tidak lagi segar tetapi sudah rapuh, seperti telah mati/tumbang beberapa waktu (mungkin tahunan) sebelum banjir terjadi. Pohon-pohon tersebut tampak masih lengkap dengan akar-akarnya. “Penemuan ini tentunya menepiskan dugaan bahwa pembalakan liar adalah penyebab banjir bandang Wasior, 4 Oktober lalu,†ujar Ali, Jumat (22/10).
Ditambahkan Ali, tumbangnya pohon-pohon di sekitar sungai dapat disebabkan oleh banyak hal, antara lain usia yang sudah mencapai klimaks (usia mati), sakit karena serangan jamur atau rayap, dan tererosinya lapisan tanah di sekitar akar. Pohon-pohon ini kemudian tumbang ke sungai dan membendung aliran air. Fluktuasi level muka air sungai memicu lebih cepat proses pelapukan (perapuhan) batang pohon. Kumulatif penumpukan pohon-pohon yang tumbang ini menyebabkan semakin besar volume air sungai yang terbendung. “Delapan jam sebelum banjir datang, hujan deras mengguyur Wasior dan akhirnya menghancurkan bendung-bendung pohon tersebut, sekaligus menghanyutkannya bersama dengan lumpur, pasir, dan batu-batu besar,†kata penyandang gelar doktor dari Universitas Hokaido, Jepang tersebut.
Wasior terletak di kaki pegunungan dan berbatasan langsung dengan garis Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat. Kecamatan Wasior dan lainnya terbentang searah dengan garis Teluk Wondama dan masing-masing dipisahkan oleh sungai. Banjir bandang 4 Oktober lalu menyebabkan meluapnya material sungai dan menghancurkan banyak bangunan sekolah, kantor, rumah, dan jembatan. Satu jembatan beton di kampung Rado terpisah menjadi tiga bagian dan kesemuanya ikut hanyut hingga puluhan meter dari lokasi awal jembatan.
Menurut pengakuan beberapa warga, imbuh Ali Awaludin, banjir 4 Oktober di Wasior bukanlah yang pertama. Beberapa tahun sebelumnya, Wasior pernah juga dilanda beberapa kali banjir walaupun dengan tingkat kerusakan yang tidak separah banjir kali ini. Informasi ini tentunya perlu dikaji lebih lanjut untuk ditemukan bukti-buktinya , misalnya dari lapisan tanah atau batuan, sehingga keputusan rehabilitasi atau relokasi dapat lebih beralasan. Apabila dari struktur geo-morphologi dan geologi Wasior diperkirakan akan terus dihantui oleh banjir, pilihan relokasi perlu segera diupayakan. “Karena hingga saat ini sebagian warga masih terlihat bertahan di lokasi bencana mengandalkan bahan makanan dan obat-obatan yang disalurkan oleh pemerintah ke posko tanggap darurat atau yang dibawa langsung oleh para relawan, maka kemungkinan rehabilitasi atau relokasi bisa jadi pilihan,†kata Ali yang pernah mendapat penghargaan Japan Wood Resarch Society (JWRS) Progress Award 2009 dari asosiasi peneliti kayu se-Jepang itu.
Ditambahkan Ali, berkaca pada kerusakan akibat banjir bandang 4 Oktober, pemerintah daerah perlu menyusun perencanaan rehabilitasi yang adaptif terhadap lingkungan, khususnya potensi banjir. Dengan demikian, kerugian yang diakibatkan oleh banjir-banjir berikutnya dapat diminimalkan. Sebagai contoh, rumah di sekitar sungai disarankan untuk menggunakan konstruksi panggung sehingga apabila terjadi luapan air sungai, lantai rumah tidak segera terendam. Apabila dirasa perlu, setiap rumah dilengkapi perahu yang akan berguna pada kondisi banjir ekstrim.
Karena pembuatan konstruksi yang dapat bertahan ketika dilanda banjir bandang sangat sulit dan mahal, perawatan sungai dan areal sekitarnya secara berkala perlu dilakukan untuk meminimalkan volume material yang mungkin terangkut oleh banjir. “Apalagi menurut warga, rumah panggung sesungguhnya merupakan bentuk rumah yang asli di Wasior dan saat ini mulai berkurang seiring dengan modernisasi yang salah satunya dicirikan dengan kehadiran rumah non-panggung berbahan dasar beton,†pungkas Ali. (Humas UGM/Satria)