YOGYAKARTA (KU) – Kondisi geografis Indonesia terletak pada busur vulkanik circum pacific dan trans asiatic volcanic belt dengan jajaran pegunungan yang cukup banyak. Adanya 129 gunung api aktif atau 17 persen dari total gunung aktif di dunia, ditambah kontur relief muka bumi yang heterogen dengan kemiringan cukup tinggi, memiliki potensi bencana yang juga cukup tinggi. Belum lagi, terdapat pola sungai yang beragam dan panjang serta memiliki hulu sungai banyak. Kondisi ini menyebabkan seringnya terjadi bencana sedimen, meliputi tanah longsor, sedimentasi waduk, banjir lahar dingin, dan banjir bandang.
Permasalahan ini menjadi tantangan bersama, baik unsur pemerintah, profesional, dunia usaha, akademisi maupun masyarakat, yang menuntut adanya upaya tindakan penanggulangan dan mitigasi bencana alam secara terpadu, efektif, dan tepat guna. Hal itu harus dilakukan agar risiko dan dampak negatif yang ditimbulkan dapat ditekan semaksimal mungkin. “Realisasi penanggulangan bencana alam harus lebih terpadu sejak mulai perencanaan, penyusunan program, rencana aksi, dan pelaksanaan disertai monitoring dan evaluasi yang memadai,” kata Guru Besar Ilmu Hidrologi UGM, Prof. Ir. Djoko Legono, Ph.D., dalam Seminar Nasional Penanganan Bencana Sedimen, hasil kerja sama Magister Pengelolaan Bencana Alam (MPBA) UGM, Kementerian PU, dan JICA, Kamis (21/10).
Djoko Legono mengutarakan perubahan iklim yang terjadi secara ekstrim sekarang ini menyebabkan curah hujan dengan intensitas cukup tinggi. Menurutnya, intensitas hujan ini sangat berpengaruh terhadap bencana sedimen di beberapa daerah. “Kondisi wilayah kita yang didominasi kemiringan yang tinggi, daerah labil, dan banyak sungai-anak sungai mengakibatkan bencana sedimen menjadi tinggi pada curah hujan tinggi secara terus menerus,” jelasnya.
Sementara itu, Drs. Endro Santoso, M.Si. dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan kondisi perubahan iklim dengan curah hujan saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh terjadinya efek El Nino-La Nina dan Dipole Mode. Ia menerangkan kondisi dinamika atmosfer dan laut akan terus berlanjut hingga Februari 2011 sehingga memberikan indikasi peluang majunya awal musim hujan di sebagian besar daerah di Indonesia. “58,6 persen daerah yang mengalami sifat hujan normal, 37,3 persen diatas nomal, dan 4,1 persen yang dibawah normal,” katanya.
Endro menyebutkan daerah Sumatera yang mengalami sifat hujan di atas normal, meliputi Aceh Tengah, sebagian besar Sumatera Utara, Lampung, dan Bangka. Sementara daerah Jawa, meliputi DKI, sebagian Jawa Barat (Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Sumedang), sebagian Jawa Tengah (Tegal, Brebes, Pekalongan, Kendal, Banyumas, Surakarta, Rembang, Bojonegoro), sebagian DIY, dan sebagian Jawa Timur (Pacitan, Malang, Lumajang, Sidoarjo, Pasuruan dan Jember bagian utara). Daerah di luar Jawa yang mengalami curah hujan di atas normal, termasuk sebagian besar Bali, Lombok Barat dan Tengah, dan sebagian Kupang, Kaltim, Sulsel, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Sanana, Saumlaki, dan Merauke bagian selatan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)