YOGYAKARTA-Pasca digelarnya Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 19 April 1955 silam di Bandung, negara-negara yang tergabung di dalamnya, termasuk Indonesia, terus berkembang, khususnya di bidang perekonomian. Sementara dari sisi kemerdekaan, semua negara di kawasan Asia-Afrika saat ini sudah merdeka, kecuali Palestina. Saat ini, negara-negara Asia-Afrika juga tengah giat memajukan perekonomiannya, memberantas korupsi, dan mengentaskan pengangguran serta mengurangi angka kemiskinan.
“Kemajuannya sangat pesat. Spirit atau semangat Konferensi Asia Afrika di Bandung masih menggelora sampai sekarang, khususnya semangat membangun negaranya dalam meningkatkan perekonomian, pemberantasan korupsi, dan pengentasan kemiskinan,†ujar anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang juga mantan Menteri Luar Negeri, Dr. Hassan Wirajuda, di sela-sela Seminar Internasional Diversity in Globalised Society The Role of Asia and Africa for a Sustainable World The Commemoration of The 55th Anniversary of 1955 Bandung Asian-African Conference yang digelar di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (25/10).
Hassan Wirajuda menambahkan persoalan kemiskinan, pengangguran, perekonomian, dan korupsi saat ini menjadi pekerjaan rumah bagi negara-negara di kawasan Asia-Afrika untuk dicarikan solusi. Hal ini cukup penting karena dampak belum optimalnya beberapa hal penting tersebut akan berimbas kepada sektor lain, termasuk pendidikan dan kesehatan. Untuk itu, kerja sama intensif negara-negara selatan-selatan di kawasan Asia-Afrika, terutama dalam memajukan perekonomian, sangat diperlukan. “Kuncinya adalah kerja sama antara negara selatan-selatan kalau ingin Asia-Afrika maju layaknya negara Eropa,†terang Hassan.
Hassan merasa yakin negara-negara Asia-Afrika dalam kurun waktu tidak lama lagi akan maju menyamai negara-negara Eropa dan AS. Dicontohkan Hassan, pada tahun 2040 mendatang negara-negara kawasan Asia diprediksi dapat menyumbangkan Gross Domestics Product (GDP)-nya bagi dunia sekitar 65%. Untuk rasio antara GDP dan utang Indonesia pascakrisis ekonomi, misalnya, menunjukkan penurunan yang cukup drastis dibandingkan dengan negara-negara Eropa. “Jadi, sebenarnya fundamental perekonomian Indonesia lebih baik dibandingkan negara-negara Eropa tadi jika dilihat rasio antara utang dan GDP-nya,†tutur Hassan.
Sementara itu, di tempat yang sama, Koordinator Nasional Seminar Internasional Dr. Widya Nayati, M.A. menambahkan selama lebih dari setengah abad usia peringatan KAA, perubahan yang diharapkan tidak juga menunjukkan titik terang. Tatanan dunia yang mengedepankan prinsip kesetaraan, solidaritas dan nir kekerasan tidak menjadi tatanan yang diakui dunia, pun menjadi gagasan alternatif . Realitasnya kini, negara-negara Asia-Afrika tetap menjadi negara yang didominasi oleh kelompok utara. “Acara ini menjadi sebuah keinginan untuk mereproduksi semangat dan solidaritas yang terjalin pada masa itu,†kata dosen Arkeologi UGM ini.
Melalui enam topik utama, yakni agama, budaya, ekonomi, lingkungan, perkotaan, dan politik, seminar yang digelar pada 25-27 Oktober mendatang ini sekaligus diharapkan dapat memetakan kekuatan-kekuatan baru yang dapat dijajagi oleh negara-negara di Asia-Afrika. “UGM bersama Universitas Le Havre di Perancis memiliki peran dalam memfasilitasi para pakar, praktisi dan pegiat masyarakat sipil di negara-negara dunia untuk terlibat dalam kegiatan ini,†ujarnya.
Acara dihadiri oleh sekitar 30 negara di Asia, Afrika, serta Eropa ini juga diharapkan bisa untuk mengaktifkan kembali jalur selatan-selatan yang mati suri pasca Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 lalu. Acara dibuka langsung oleh Prof Dr. Retno S. Sudibyo, M.Sc.,Apt. Wakil Rektor Senior Bidang Pendidikan,. Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. UGM yang ditandai dengan dibunyikannya mainan tradisional othok-othok oleh seluruh peserta dan pembicara seminar. (Humas UGM/Satria)