Menanggapi peningkatan status Gunung Merapi menjadi ‘awas’ membawa konsekuensi yang cukup beragam. Salah satunya, bagi masyarakat yang tinggal Kawasan Rawan Bencana (KRB) III yang pada peta bahaya Merapi lama termasuk daerah terlarang (forbidden zone).
Seperti diketahui, KRB III saat ini dihuni lebih dari 40 ribu orang, yang sewaktu-waktu harus dievakuasi karena bahaya Merapi mengancam. Evakuasi pun sudah dilakukan oleh Pemda Sleman sejak penetapan status ‘awas’ Merapi. Saat ini, telah terdapat sekitar 23 lokasi pengungsian yang akan menampung lebih dari 10 ribu pengungsi.
Melihat kondisi tersebut, Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) UGM berinisiatif menurunkan tim untuk mengantisipasi penanganan pengungsi korban bencana Merapi. “Tim yang diterjunkan langsung ke lapangan, antara lain, bertugas memetakan sebaran-sebaran pengungsi, mengidentifikasi kelompok rentan menurut umur, jenis kelamin, dan kondisi pengungsi, serta menilai tingkat kerentanan wilayah rawan bencana, baik aspek fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan,†jelas Prof. Dr. Sudibyakto, Koordinator Tim Merapi PSBA UGM, Selasa (26/10).
Ditambahkan Sudibyakto, tim yang diturunkan juga akan melakukan penilaian terhadap kebutuhan pelayanan standar minimum pengungsi, dan sumber daya di wilayah rawan bencana serta kemungkinan sumber potensial penggalian dana. Berikutnya, juga akan dilakukan pemetaan dan identifikasi alur koordinasi penanggulangan bencana pada tahapan kesiapsiagaan dan tanggap darurat. “Semua itu ditujukan untuk memberikan bantuan pemikiran bagaimana sebaiknya penanganan daerah rawan bencana Merapi ditinjau dari aspek tata ruang. Di samping itu juga bagaimana langkah penanganan pengungsi serta pengembangan infrastruktur dengan mempertimbangkan risiko bencana Merapi,†terangnya.
Sudibyakto menyampaikan PSBA menurunkan 25 orang mahasiswa yang yang mempunyai kompetensi ‘risk management’ dan keahlian di bidang geoinformasi untuk manajemen bencana. Selain itu, diturunkan pula lima orang tim ahli yang memiliki keahlian dalam manajemen bencana, sistem informasi, sosial, dan kependudukan, ahli gunungapi, dan pengembangan wilayah. “Penanganan pengungsi ini sangat penting agar kebutuhan dasar minimal dapat dipenuhi sesuai dengan aturan yang berlaku bagi pengungsi korban bencana di Indonesia,†katanya.
Mengenai lokasi yang akan disurvei, dikatakan Sudibyakto, sebagian besar adalah lokasi barak pengungsian yang ada di wilayah Kabupaten Magelang, Sleman, Klaten, dan Boyolali. Diharapkan hasil survei ini dapat memberikan informasi tentang kebutuhan riil pengungsi melalui website yang ada di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Selain itu, juga untuk menunjukkan manajemen bencana di Merapi sebagai pelajaran praktik di Indonesia. (Humas UGM/Ika)