YOGYAKARTA (KU) – Sebanyak 60 antropolog dari 18 perguruan tinggi yang tergabung dalam Asosiasi Jurusan Antropologi Indonesia (AJASI) menyelenggarakan lokakarya III di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), 25-27 Oktober 2010. Para antropolog tersebut berasal dari UGM, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Airlangga, Universitas Sumatera Utara, Universitas Samratulangi, Universitas Udayana, Universitas Cendrawasih, Universitas Negeri Papua, dan sebagainya.
Pertemuan yang berlangsung selama tiga hari ini membahas strategi pengembangan antropologi dan keantropologian kontekstual. Tema ini dipilih berangkat dari persoalan beberapa lembaga pendidikan antropologi di Indonesia yang mengalami ketimpangan rasio dosen dan mahasiswa, menurunnya jumlah mahasiswa, dan regulasi yang terkait dengan pendidikan antropologi di perguruan tinggi dan sekolah umum.
Ketua Jurusan Antropologi Budaya FIB UGM sekaligus menjadi Koordinator AJASI, Dr. Lono Lastoro Simatupang, M.A., kepada wartawan, Rabu (27/10) sore, mengatakan minat belajar antropologi tidak seragam. Ada beberapa perguruan tinggi yang kekurangan mahasiswa, tetapi ada yang justru kebanjiran peminat. Untuk mengatasi hal ini, langkah praktis yang dapat dilakukan adalah dengan membangkitkan minat belajar antropolgi di SMU melalui roadshow ke SMU-SMU. “Langkah kita mempromosikan dan menyelenggarakan fokus kajian pada bidang tertentu yang sesuai dengan konteks lingkungan alam dan budaya di wilayah kerja masing-masing lembaga pendidikan,” kata Lono.
Ia mengatakan menurunnya minat belajar antropologi ditengarai dengan adanya pembatasan mata pelajaran antropologi di SMU. Mata pelajaran antropologi dalam kurikulum SMU hanya diajarkan di jurusan bahasa. Sebelumnya, antropologi dimasukkan di jurusan bahasa dan jurusan sosial (IPS).
Selain meningkatkan jumlah peminat mahasiswa, para peserta juga sepakat untuk meningkatkan keterampilan umum yang dibutuhkan oleh lulusan antropologi, yakni mengamati, mewawancara, menganalisi, dan menulis tentang kebudayaan berdasarkan strata akademis, kompetensi masing-masing strata.
Diakui Lono, dengan kompetensi yang dimiliki saat ini, lulusan antropologi dapat mengaplikasikan ilmunya di berbagai bidang-bidang strategis, baik di kalangan pemerintah maupun nonpemerintah, lembaga dalam dan luar negeri. Bidang-bidang tersebut, meliputi bisnis, media, pertahanan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Sesuai dengan kompetensi lulusan antropologi berdasarkan strata S-1/S-2/S-3 perlu diidentifikasi bidang-bidang yang dapat dimasuki oleh lulusan antropologi, termasuk keterampilan-keterampilan tambahan yang dibutuhkan untuk dapat bekerja secara well-performed.
Selain itu, lembaga pendidikan tinggi secara aktif melakukan kerja sama dengan pengguna, terutama lembaga swasta untuk memberi kesempatan bagi mahasiswa strata 1 melakukan praktik kerja lapangan atau magang, melakukan latihan penelitian, dan penelitian tugas akhir.
Ketua panitia pertemuan AJASI III, Dr. Anna Marie Wattie, M.A., mengatakan lokakarya kali ini juga menyepakati hasil lokakarya sebelumnya mengenai gelar lulusan antropologi, yakni S.Ant. Penyeragaman gelar ini diharapkan dapat menampilkan identitas lulusan antropologi yang bisa mengisi berbagai lapangan kerja secara profesional. “Untuk itu, akan dilakukan tindakan konkret mengusulkan pengguna gelar S.Ant. agar dikategorikan sebagai tenaga profesional,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson).