Gambaran Umum
Sebagai wujud kepedulian sosial terhadap bencana banjir bandang yang terjadi di Wasior Papua maka Universitas Gadjah Mada melalui DERU (Disaster Early Respone Unit) yang dikelola oleh LPPM melakukan analisi awal mengenai terjadinya bencana tersebut. UGM melaluia DERU juga merencanakan mengirim Tim Advance yang terdiri dari ahli Geologi, Psikososial dan Kesehatan ke lokasi bencana yang akan diberangkatkan pada tanggal 19 oktober 2010 dan bertugas melakukan need assessment selama satu minggu. Bencana banjir bandang baru saja melanda Kampung Sandur, Distrik Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat dan akibatnya sementara ini tercatat 90 orang tewas (yang diperkirakan masih terus meningkat), 66 orang hilang, 837 orang luka-luka dan ratusan rumah terendam air ataupun terkubur batu dan tanah.
Beberapa tahun sebelumnya, tercatat bencana banjir bandang pernah pula melanda beberapa wilayah di Indonesia, diantaranya terjadi di tempat wisata pemandian air panas Pacet di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur pada tanggal 11 Desember, 2002 yang mengakibatkan 26 orang tewas dan 14 orang hilang; di Lembah Sungai Jenebarang yang berada di lereng Gunung Bawakaraeng, Kabupaten Goa pada tanggal 27 Maret, 2004 yang menewaskan 32 orang serta mengubur 12 rumah dan 430 hektar lahan ; di bantaran Sungai Bahorok, Taman Wisata Bukit Lawang, yang berada di kaki G. Leuser, Sumatera Utara pada tanggal 2 November 2003 yang mengakibatkan 151 orang tewas dan 100 orang yang hilang, di beberapa lembah/bantaran sungai di Kota Palu; dan juga di Kabupaten Jember, Jawa Timur pada bulan Januari 2006. Dengan mempertimbangkan kondisi alam dan perubahan tata guna lahan saat ini yang makin pesat, diperkirakan bencana banjir bandang masih terus akan melanda beberapa wilayah rentan di Indonesia.
Mengapa Banjir Bandang terjadi?
Banjir bandang merupakan suatu proses aliran air yang deras dan pekat karena disertai dengan muatan masif bongkah-bongkah batuan dan tanah (sering pula disertai dengan pohon-pohon tumbang) yang berasal dari arah hulu sungai. Selain berbeda dari segi muatan yang terangkut di dalam aliran air tersebut, banjir bandang ini juga berbeda dibandingkan dengan banjir biasa karena dalam proses banjir ini terjadi kenaikan debit air secara tiba-tiba dan cepat, meskipun tidak diawali dengan turunnya hujan di daerah hilir sungai yang banjir.
Banjir bandang terjadi umumnya diawali oleh proses pembendungan alamiah di daerah hulu sungai yang berada pada lereng-lereng perbukitan tinggi. Pembendungan alamiah ini sering terjadi sebagai akibat terakumulasinya endapan-endapan tanah dan batuan yang longsor dari arah bagian atas lereng. Dengan menganalisis kondisi bentang alam di daerah Wasior yang berdekatan dengan perbukitan terjal dan tinggi, yang berbatasan langsung dengan dataran rendah Wasior, maka nampaknya proses pembendungan sungai di daerah hulu ini dapat terjadi secara alamiah akibat dari proses longsor yang menyeret tanah dan batu beserta pohon-pohon dari bagian lereng atas pegunungan. Akibat terbentuknya bendung pada lembah sungai di daerah hulu tersebut maka air sungai dan air hujan yang berasal dari arah hulu sungai terakumulasi di balik bendung. Kenaikan akumulasi air yang terbendung tersebut secara cepat dapat meningkat seiring dengan meningkatnya curah hujan di daerah hulu sungai, dan akhirnya menjebol bendung. Jebolnya bendung inilah yang memicu terjadinya peningkatan debit aliran sungai secara tiba-tiba dan cepat dari arah hulu ke arah hilir, meskipun di bagian hilir lembah sungai tidak terjadi hujan
Bagaimana ciri lahan rentan banjir bandang?
Lahan yang rentan terkena banjir bandang dicirikan oleh kenampakan bentang alam yang datar, yang berada tepat di mulut lembah sungai pada kaki perbukitan curam, seperti yang terjadi di Taman Wisata Bukit Lawang (kaki G. Leuser). Kondisi bentang alam tersebut juga sangat mirip dengan bentang alam di daerah Wasior. Dan masih banyak pula daerah lain di wilayah Indonesia yang memiliki kondisi bentang alam yang serupa.
Jadi bentang alam yang rentan mengalami banjir bandang dicirikan oleh adanya kontras kemiringan lereng antara perbukitan dengan tebing/ lereng curam yang secara tiba-tiba berubah menjadi dataran rendah. Kontras kemiringan lereng ini mengakibatkan terjadinya aliran air dengan kecepatan sangat tinggi dari arah hulu tempat bendung jebol berada. Namun kemudian aliran air yang cepat tersebut dipaksa secara tiba-tiba untuk melambat seketika setelah aliran pekat tersebut tercurah menuju lahan yang datar di daerah hilir. Akibatnya terjadilah pengedapan sedimen masif (tanah bercampur batu dan kayu) yang terangkut oleh air dengan debit tinggi pada daerah pengendapan yang datar di kaki bukit. Zona pengendapan tersebut membentuk lahan berupa kipas aluvial, yang merupakan zona akumulasi sedimen banjir yang membentuk morfologi seperti kipas). Umumnya daerah yang rentan banjir bandang ini juga merupakan daerah dengan curah hujan tinggi, ataupun daerah yang rentan terkena guncangan gempa bumi. Percepatan gempa yang merambat melalui batuan lapuk pada lereng di Pegungungan Terjal sangat mudah memicu runtuhnya batuan/tanah sebagai longsor, yang kemudian membendung lembah sungai yang sempit. Tingginya curah hujan juga makin mengintensifkan proses longsor batuan/tanah pembentuk bendung alam, serta secara intensif dapat meningkatkan akumulasi air di balik bendung. Peningkatan akumulasi air inilah yang mengakibatkan jebolnya bendung.
Benarkan pembalakan hutan penyebab banjir bandang?
Tidak tertutup kemungkinan bahwa penumpukan batang-batang kayu di daerah hulu ini juga diperparah dengan pembalakan hutan. Bagaimanakah kita dapat menengarai bahwa kayu-kayu yang tertumpuk adalah akibat pembalakan hutan atau akibat seretan pohon-pohon yang tumbang saat longsor di bagian atas lereng lembah terjadi? Apabila kayu yang terseret oleh arus banjir bandang ini merupakan kayu gelondongan dengan ukuran teratur dan tampak terpotong secara seragam (tidak disertai adanya akar-akar pohon), maka tumpukan kayu yang membendung lembah di hulu sungai adalah hasil tebangan pohon oleh manusia. Namun apabila kayu-kayu yang terseret banyak disertai dengan akar-akar dan ranting-ranting pohon, maka sangat mungkin bahwa tumpukan kayu-kayu yang membendung hulu sungai terjadi secara alamiah, akibat longsor yang menyeret pohon-pohon pada lereng pegunungan terjal di daerah hulu sungai.
Jadi banjir bandang dapat pula dipicu oleh longsor dan pembendungan di daerah hulu, yang umumnya dicirikan dengan munculnya kenampakan berupa bekas-bekas longsor di bagian atas lembah sungai yang terbendung. Kenampakan bekas longsor ini dicirikan oleh terbentuknya “torehan-torehan lengkung†pada lereng-lereng di daerah hulu sungai. Sebagai contoh adalah kejadian banjir bandang di Sungai Bahorok di tahun 2003, juga disertai puluhan torehan – torehan longsor pada lereng Gunung Leuser. Kenampakan torehan-torehan ini dapat mudah teramati dari atas melalui citra satelit, foto udara ataupun inspeksi udara dengan helikopter/ pesawat terbang.