Sejarah mencatat bahwa kampung merupakan bagian integral kota di Indonesia. Dalam proses perkembangan kota yang akan terus terjadi, kampung masih mendapat kesempatan untuk memberi wujud dan makna kehidupan perkotaan yang lebih baik dan khas di Indonesia. Selama ini, banyak orang melihat masa depan kampung akan sangat tergantung pada masa depan kota. Pandangan semacam ini tentunya perlu diubah karena masa depan kota di Indonesia justru akan sangat tergantung pada kampung-kampungnya. Bahkan, perencanaan kota di Indonesia pada masa depan haruslah melihat dan memperlakukan kampung sebagai bagian integral kota.
“Peta-peta rencana kota haruslah secara rinci dan jelas memuat kampung-kampung yang ada. Dokumen-dokumen rencana dan pembangunan kota juga seharusnya berkisah dan menjelaskan tentang kampung-kampung yang ada, sejarah, posisi dan kontribusinya terhadap kota,” terang Prof. Ir. Bakti Setiawan, M.A., Ph.D. di Balai Senat UGM, Kamis (28/10), saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Perencanaan Kota, Fakultas Teknik UGM.
Kata Bobby (panggilan akrabnya–red), dokumen ini sangat penting karena tidak saja menunjukkan pentingnya peran kampung dalam sistem kota, tetapi juga menjamin bahwa kampung tidak dihilangkan dari sistem perencanaan serta pembangunan kota. Menurutnya, dalam konteks pembangunan kota yang sangat dikontrol oleh pasar dan kapital, perencanaan harus berani memihak, mendampingi, dan memproteksi kampung.
“Artinya, itu telah membantu mereka yang miskin dan rentan untuk menjamin apa yang disebut ‘defensible life space’ atau ruang kehidupan yang dapat dipertahankan,” ujar Ketua Program Studi Magister Perencanaan Kota dan Daerah/ MPKD, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik UGM ini.
Dalam pandangan Bobby, defensible life space sangat berarti bagi mereka yang miskin dan rentan karena merupakan satu dari delapan elemen kekuatan sosial yang memungkinkan mereka terlepas dari jerat kemiskinan. Apa yang dilakukan Romo Mangunwijaya dengan mendampingi komunitas di bawah Jembatan Gondolayu, Yogyakarta, sebagai bentuk defensiable life space. “Hal itu terbukti telah membantu mengantarkan mereka yang miskin dan rentan untuk lepas dari jerat kemiskinannya,” tambah pria kelahiran Yogyakarta, 28 Juni 1959 ini.
Bagi suami Ir. Dwita Hadi Rahmi, M.A. ini, perencanaan kota bukanlah kegiatan teknokratik dan teknis semata, yang bebas nilai dan kepentingan. Perencanaan kota merupakan proses yang sarat dengan benturan, konflik, negosiasi, dan mungkin konsesi antar berbagai aktor dalam kota.
Dalam situasi seperti ini, perencanaan kota harus berani memilih pada pihak mana mereka akan bekerja. Sebagian besar warga kota berada pada posisi yang rentan, kalah, dan terpinggirkan. “Karenanya, perencanaan harus mengedepankan proses-proses penguatan asosiasi warga. Penguatan asosiasi warga kota inilah yang diperlukan agar mereka siap dan mampu bermain untuk membela aspirasi dan kepentingan mereka dan tidak terlindas kepentingan kapital dan penguasa kota,” kata ayah Tata Matahari ini. (Humas UGM/ Agung)