YOGYAKARTA (KU) – Bagi orang Jawa, masuk angin dianggap sebagai gangguan kesehatan yang biasa atau lumrah, bahkan sering dianggap sebagai penyakit harian. Pemahaman konsep Jawa mengenai masuk angin terkait dengan angin yang masuk ke dalam tubuh sehingga seluruh tubuh menjadi dingin. Angin yang bersifat dingin tersebut apabila terdapat di dalam jumlah yang tidak seimbang akan menimbulkan gangguan kesehatan. Teori penyebab penyakit ini pun muncul lebih didasarkan pada naturalistik daripada personalistik. “Bagi orang awam, masuk angin dianggap terjadi karena kehujanan, perut kosong, atau pencernaan kurang beres. Bagi orang Jawa justru berbeda, dapat berupa fisik maupun mental, bahkan keduanya,” kata antropolog UGM, Dra. Atik Triratnawati, M.A., dalam Seminar ‘Masuk Angin: Konsep Jawa vs Modern dan Implikasi Pengobatannya’ yang digelar di Gedung Masri Singarimbun, MSK UGM, Kamis (28/10).
Atik menyebutkan orang Jawa mangganggap masuk angin dapat terjadi akibat kelelahan, kehujanan, kedinginan, kepanasan atau perubahan panas ke dingin dan sebaliknya secara mendadak, banyak pikiran, kurang tidur akibat begadang, terlambat makan, tidur di lantai tanpa alas, juga terkena angin yang keras.
Orang Jawa membedakan masuk angin berdasarkan atas berat ringannya gejala, banyak sedikitnya jumlah gejala, serta mudah tidaknya dalam proses penyembuhan. Pertama, masuk angin ringan ialah masuk angin yang dirasakan gejalanya tidak terlalu berat, tidak sampai muntah ataupun diare, masih mampu bekerja atau beraktivitas serta doyan makan dan minum meski tidak sebanyak saat sehat.
Kedua, masuk angin berat, yakni masuk angin dengan gejala yang beragam dan berat, termasuk diikuti muntah-muntah dan diare. Ketiga, masuk angin kasep adalah masuk angin yang dibiarkan atau tidak dirasakan oleh penderitanya sehingga berubah menjadi berat, bahkan membawa kematian yang bersifat mendadak. “Diawali dengan masuk angin biasa, kemudian masuk angin berat. Akan tetapi, oleh penderitanya hal itu tidak dirasakan serta tidak segera ditanggulangi,” katanya.
Kematian mendadak sering diawali dengan rasa tidak enak badan, sesak nafas atau keluar banyak keringat yang disebut sebagai angin duduk. “Bagi orang Jawa, masuk angin duduk dianggap sebagai masuk angin yang berbahaya sebab umumnya penderita tidak mampu ditolong lagi,” tambahnya.
Berbeda dengan kalangan medis, yang lebih menganggap masuk angin hanyalah kumpulan gejala seperti flu atau penyakit lainnya sehingga penyembuhannya cenderung menekankan pada aspek klinis yang mandiri dan terpisah dari unsur budaya. “Khusus untuk angin duduk, bagi paramedis dianggap sebagai gangguan pembuluh darah yang jika dibiarkan menjadi serangan jantung,” katanya.
Namun demikian, dalam mengatasi masuk angin, orang Jawa menggunakan penyembuhan holistik, yakni berupaya mengembalikan keseimbangan jagat gedhe (makrokosmos) maupun jagat cilik (mikrokosmos), artinya manusia berupaya memperbaiki relasi sosial, baik dengan sesama, lingkungan alam, maupun Tuhan. “Penyembuhan holistik melihat manusia secara komplit, artinya pasien bukan hanya sekadar tampilan jasad yang harus dibebaskan dari bakteri maupun penyakit fisik lainnya, melainkan lebih dari itu,” kata staf pengajar Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM ini.
Bagi orang Jawa, kebiasaan melakukan kerokan, pijat, minum jamu, dan minuman bersoda dipercaya mampu mengembalikan keseimbangan individu, baik fisik maupun metafisik. Bahkan, pasca pengobatan, perilaku orang Jawa akan berubah lebih pasrah, sabar, dan nrima atas apa yang akan terjadi, baik kesembuhan maupun ketidaksembuhan. Dengan sugesti yang kuat akan penyembuhan yang dilakukan, akan mampu mempercepat proses kesembuhan.
Ia menerangkan dalam pengobatan holistik tidak hanya individu yang diperlakukan secara pribadi, tetapi juga ada unsur merawat, artinya individu yang tidak mampu merawat diri sendiri saling bantu dengan yang lain. Di sini kasih sayang akan muncul. Kerokan pun mengandung unsur tolong-menolong sebab meskipun penderita mampu mengerok diri sendiri, tetapi ada bagian tubuh tertentu yang mesti dikerok oleh orang lain karena keterbatasan jangkauan tangan manusia. “Kerokan menunjukkan sifat tolong-menolong antar sesama. Saat ini diminta mengerok, lain kali ganti akan meminta dikerok. Hal ini menunjukkan bahwa bagi orang Jawa hidup itu pun tidak mungkin tanpa bantuan orang lain,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)