YOGYAKARTA (KU) – Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM mendirikan Posko Medik Veteriner Gabungan untuk membantu penanganan kesehatan hewan korban Merapi. Posko yang merupakan gabungan dari FKH UGM, RSH Prof. Soeparwi, PDHI Yogyakarta, dan ADHPHKI ini dalam kegiatannya melibatkan puluhan dokter hewan yang bekerja sama dengan Dinas Peternakan Sleman.
Ketua posko medik veteriner peduli Merapi, Prof. Dr. drh. Ida Tjahajati, M.S., mengatakan salah satu kegiatan posko adalah mengirimkan tim dokter hewan ke lokasi bencana untuk memberikan pengobatan gratis dan membantu mengevakuasi ternak sapi. “Tim dokter hewan terjun langsung ke lapangan memberi pengobatan juga menngevakuasi sapi yang masih terperangkap,” kata Ida Tjahajati saat ditemui di posko yang berlokasi di RSH Prof. Soeparwi, Jumat (29/10).
Evakuasi terhadap ternak yang masih terperangkap di lokasi bencana akan dilakukan secepatnya untuk menghindari terjadi penyebaran penyakit. “Supaya tidak timbulkan wabah penyakit dan bau busuk, perlu dievakuasi dan dikuburkan secepatnya,” katanya.
Dari hasil pengamatan dan pemantauan tim dokter hewan yang dilaksanakan kemarin, ditemukan banyak ternak sapi yang mengalami luka bakar dan menderita penyakit pneumonia. “Sapi-sapi ini terkena radang saluran pernafasan dan pencernaan akibat tercemar pasir dan debu abu vulkanik,” kata Direktur RSH Prof. Soeparwi ini.
Di samping itu, ternak yang berasal dari daerah Cangkringan, Sleman, ini juga menghadapi persoalan minimnya pasokan pakan ternak berupa hijauan dan air bersih. “Karena pakan hijauan yang ada di sana sudah tercemar debu vulkanik dan ini sangat berbahaya bagi kesehatan ternak,” imbuhnya.
Menurut rencana, tim dokter hewan yang diterjunkan dari FKH UGM akan bekerja selama tiga bulan ke depan untuk membantu Dinas Peternakan Sleman dalam membantu penanganan kesehatan ternak sampai para pemilik ternak dapat kembali ke rumah masing-masing.
Ditemui secara terpisah di posko kesehatan hewan Kepuharjo, Cangkringan, Kepala Bidang Peternakan Sleman, Ir. Suwandi Aziz, menyebutkan ada sekitar 2.000-an ekor ternak sapi perah yang ditangani oleh tim dokter hewan yang tersebar di tiga desa, yakni Umbulharjo, Kepuharjo, dan Glagaharjo, sebagai daerah yang diprioritaskan untuk mendapatkan penanganan kesehatan hewan. “Hingga saat ini kita baru mendata 275 sapi yang mati, masih ada 12 sapi lagi yang belum sempat dievakuasi karena lokasinya masih cukup bahaya, tapi secepatnya akan kita evakuasi,” kata Suwandi. Dari 275 hewan yang ditemukan mati tersebut berasal dari Pelemsari dan Kaliadem yang terkena dampak awan panas dan debu vulkanik.
Suwandi menginformasikan sapi milik peternak yang sudah mati akan mendapat ganti rugi dari pemerintah dalam bentuk bantuan sapi yang sama. “Kita akan mengganti dengan sapi yang sama,” katanya.
drh. Kristianti yang bertugas setiap harinya di pos penampungan hewan Umbulharjo mengaku kebanyakan sapi yang ditangani sekitar 30-50 persen mengalami luka bakar. “Kita lebih banyak memberikan obat anti infeksi, anti radang, dan anti stress,” kata lulusan FKH UGM tahun 1997 ini.
Dari hasil pemantauan, jumlah sapi yang ada di penampungan semakin berkurang. Sebelumnya berjumlah 37 ekor, kini menjadi menjadi 23 ekor. “Sebagian sudah diambil pemiliknya untuk dijual,” ujarnya.
Martono (65), salah satu peternak asal Ngrangkah, Dukuh Pelemsari, Cangkringan, yang ditemui di barak pengungsian Umbulharjo, mengaku kehilangan dua ekor sapi saat terjadi bencana erupsi Merapi. “Di Pelemsari itu ada 250 ekor sapi, kini tinggal 23 ekor sapi yang masih hidup,” kata kakek yang sudah memiliki lima cucu ini.
Walau sudah mendapat informasi dari Pemda Sleman bahwa sapi yang mati akibat bencana Merapi semuanya akan diganti, tapi bapak tiga anak ini tidak berharap banyak dari ganti rugi tersebut. Yang dipikirkannya saat ini justru rumahnya yang kini tidak dapat ditempati lagi karena hancur akibat awan panas Merapi. “Ganti rugi itu urusan nanti. Sekarang, yang lebih dibutuhkan itu adalah uang. Bantuan makanan dan pakaian disini sudah banyak. Sekarang untuk ngasih beli belanja cucu saja saya tidak bisa,” kata Martono sedikit memelas.
Martono merupakan salah satu dari ratusan pengungsi Merapi yang terpaksa ikut mengungsi bersama warga lainnya guna menghindari jatuhnya korban bencana erupsi. Sampai saat ini, Merapi belum menunjukkan aktivitasnya menurun. Selama itu pula, Martono beserta 13 anggota keluarganya harus rela menginap di kantor Kelurahan Umbulharjo yang kini disulap sebagai pos pengungsian. (Humas UGM/Gusti Grehenson)