YOGYAKARTA- Banjir bandang merupakan suatu proses aliran air yang deras dan pekat karena disertai dengan muatan sedimen berupa bongkah-bongkah batuan dan tanah (sering pula disertai dengan pohon-pohon tumbang) yang berasal dari arah hulu sungai. Banjir bandang berbeda dengan banjir biasa karena dalam proses banjir bandang ini terjadi kenaikan debit air secara tiba-tiba dan cepat meskipun tidak diawali dengan turunnya hujan di daerah hilir sungai yang banjir.
Hal itu disampaikan Guru Besar Geologi Teknik dan Lingkungan UGM, Prof. Dr. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., dalam ’90 Minutes Seminar on Knowledge Partnership’ yang berlangsung di Ruang Sidang LPPM, Jumat (29/10). Hadir dalam diskusi tersebut, Dr. Syamsul Maarif (Ketua Umum BNPB) dan Dr. Rahmat Hidayat (Tim Disaster Early Response Unit/DERU, yang juga dosen Psikologi UGM).
Dwikorita menambahkan ada atau tidak ada pembalakan hutan, banjir bandang tetap terjadi secara periodis sebagai bagian dari proses evolusi bentang alam. Banjir bandang biasa terjadi pada daerah dataran rendah kipas alluvial yang berbatasan langsung dengan pegunungan terjal, yang juga merupakan daerah dengan curah hujan tinggi dan di sekitarnya pernah mengalami gempa bumi.
Dijelaskan Dwikorita, lahan yang rentan terkena banjir bandang dicirikan oleh adanya kontras kemiringan lereng antara perbukitan dengan tebing/lereng curam yang secara tiba-tiba berubah menjadi dataran rendah. Kondisi semacam ini sangat mirip dengan bentang alam di daerah Wasior dan masih banyak pula daerah lain di Indonesia yang memiliki kondisi bentang alam serupa. “Jadi, setidaknya selain faktor alam sebagai pengontrol, seperti kondisi geologi, faktor pemicu, seperti curah hujan yang tinggi, ikut menjadi penyebab terjadinya bencana di suatu wilayah,†terangnya.
Untuk itu, Dwikorita dalam kesempatan tersebut kembali mengingatkan perlunya identifikasi dan pemetaan zona rentan banjir bandang, penataan ruang yang tepat dan ketat, serta pemantauan dan peringatan dini. “Pemantauan untuk mendeteksi pembentukan bending sedimen di daerah hulu, peningkatan curah hujan di daerah hulu sungai, dan peningkatan debit air dan laju sedimen dari hulu ke hilir,†kata Dwikorita.
Di tempat yang sama, Ketua BNPB, Dr. Syamsul Maarif, juga menyampaikan kesamaan pandangannya dengan Dwikorita. Perubahan iklim dari pengamatannya justru yang paling berpengaruh terhadap terjadinya banjir bandang Wasior. Curah hujan tinggi, misalnya, menjadi salah satu faktor pemicu frekuensi bencana di sana terjadi. “Bukan illegal logging. Perubahan iklim terus terang diakui menyebabkan frekuensi bencana berubah cepat,†kata Syamsul.
Diakui Syamsul, pola hidup masyarakat yang berada di daerah mulut sungai juga cukup berbahaya ketika banjir datang. Kebanyakan masyarakat yang terkena bencana kemarin kebanyakan adalah pendatang, seperti dari Buton, Bugis, dan Makasar, sedangkan masyarakat asli Wasior justru banyak yang tinggal di daerah lereng.
Pemerintah dalam kasus Wasior untuk jangka pendek juga tengah merancang sebuah master plan dilakukannya pemindahan (relokasi) bagi sekitar 9.000 jiwa (3.000 KK) di sekitar lokasi bencana. Hanya saja, upaya relokasi itu, menurut Syamsul, juga tidak mudah. “Tidak mudah. Selain menyangkut persoalan politis di pusat, di daerah pun bisa terjadi. Apalagi kalau menyangkut kebijakan, misalnya antara gubernur dengan bupatinya bisa tidak akur dan sepaham,†urainya.
Sementara itu, psikolog UGM, Dr. Rahmat Hidayat, mengatakan berdasarkan amatan dan informasi, dapat disimpulkan adanya persoalan kesehatan mental yang cukup meluas pada masyarakat korban bencana banjir bandang di Wasior. Dengan estimasi bahwa 10% dari populasi terpapar bencana mengalami beban psikologis yang cukup signifikan, perlu diantisipasi program-program bantuan kesehatan mental oleh profesional untuk kurang lebih 900 orang. “Bila 5% di antaranya berkembang ke arah gangguan yang lebih serius, maka perlu dipersiapkan bantuan-bantuan psikologis dan psikiatris untuk kurang lebih 450 orang,†kata Rahmat.
Menurut Rahmat, setidaknya terdapat empat faktor penting untuk disiapkan dalam tanggap bencana, termasuk yang terjadi di Wasior. Keempat hal yang dimaksud ialah tersedianya psychological first aid pada tahap tanggap darurat, adanya fasilitas perawatan untuk keluhan-keluhan psikiatris yang mendesak, adanya fasilitas perawatan berkelanjutan untuk individu-individu yang sebelum bencana telah mengalami gangguan mental, dan adanya rancangan untuk program kesehatan mental komunitas pasca bencana. “Dari assessment dan observasi menunjukkan tidak memadainya keempat aspek tersebut. Ini jadi catatan penting mengingat dampak banjir bandang ini terhadap kondisi kesehatan mental masyarakat yang sedemikian tinggi,†imbuhnya. (Humas UGM/Satria Ardhi Nugraha)