YOGYAKARTA-Sejak beberapa tahun terakhir, minat penelitian tentang Indonesia oleh mahasiswa dan peneliti luar negeri kian menurun. Hal itu tidak semata-mata karena birokrasi yang cukup panjang, tetapi mereka menilai topik mengenai Indonesia kian tidak menarik. Ada pergeseran ketertarikan peneliti asing ke beberapa negara, seperti China, Vietnam, India, dan Afrika.
“Bukan semata-mata persoalan birokrasi, namun ada ketertarikan meneliti di negara lain yang lebih ‘eksotis’, seperti China, Vietnam, Afrika, serta India,” ujar staf pengajar Sastra Perancis UGM, Dr. Wening Udasasmoro, M.Hum., D.E.A., di sela-sela persiapan The 2nd International Graduate Students Conference on Indonesia di Sekolah Pascasarjana, Senin (1/11).
Wening mengatakan informasi yang banyak disampaikan oleh staf pengajar/peneliti dari beberapa perguruan tinggi di Belanda dan Perancis, misalnya, mahasiswa yang mengambil studi tentang Indonesia dari tahun ke tahun terus menurun. Misalnya, dari beberapa tahun lalu yang per angkatan dapat mencapai 50 orang saat ini menjadi 10-15 orang mahasiswa saja.
“Informasi dari dosen kampus di Perancis dan Belanda mengakui memang studi soal Indonesia peminatnya turun. Nah, kalau tiap kelas tidak sampai 10 orang, maka program studinya bisa ditutup,†kata Wening, yang juga panitia seminar tersebut.
Hal senada juga dikemukakan oleh Direktur Sekolah Pascasarjana UGM, Prof. Dr. Hartono, D.E.A., D.E.S.S,. Bahkan, untuk mengantisipasi agar program studi tentang Indonesia tidak tutup, pengelola di luar negeri harus rela melakukan promosi dan road show ke SMA-SMA. Padahal, masih banyak topik dan persoalan menyangkut Indonesia yang dapat dijadikan objek penelitian. Ia mencontohkan mengenai wisdom (kearifan lokal) masyarakat Indonesia dan topik aktual yang tengah terjadi saat ini, seperti keberadaan Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi.
“Kearifan lokal Indonesia itu melimpah yang bisa digali dan dijadikan topik penelitian,†kata Hartono.
Banyak langkah yang dapat ditempuh untuk mencegah terjadinya penurunan minat meneliti tentang Indonesia. Selain dengan mengadakan berbagai seminar atau diskusi yang melibatkan mahasiswa luar, networking dengan perguruan tinggi asing dan penelitian bersama perlu digalakkan. Hartono mencontohkan Sekolah Pascasarjana yang belum lama ini juga menjalin kerja sama dengan tiga perguruan tinggi di Kairo, Mesir, yakni Al Azhar, Kanal Suez, dan American Education in Cairo University.
“Kerja sama terkait dengan pengembangan kajian Timur Tengah, ekonomi Islam, filsafat, dan bahasa Arab,†tutur Hartono.
Sementara itu, terkait dengan peningkatan kerja sama dan pengembangan pembahasan serta penelitian topik-topik kontemporer Indonesia, Sekolah Pascasarjana akan mengadakan The 2nd International Graduate Students Conference on Indonesia, dengan tema ‘Indonesia and the New Challenge: Multiculturalism, Identity, and Self Narration, 3 November 2010.
Banyak fenomena-fenomena baru muncul di Indonesia, baik dalam konteks sosial, ekonomi, politik, hukum, maupun budaya, seperti kasus hukum Prita Mulyasari yang notabene subjek kecil melawan rumah sakit dan pengadilan. Kasus lain, misalnya skandal Bank Century, juga menunjukkan kejutan lain dalam persoalan hukum dan politik di Indonesia. Acara yang melibatkan mahasiswa S-2 dan S-3 ini nantinya akan membahas sekitar 95 paper/tulisan mahasiswa dari berbagai negara, antara lain Indonesia, Jepang, Jerman, Singapura, Australia, Filipina, AS, Bangladesh, hingga Myanmar.
Konferensi dan seminar juga akan menghadirkan pembicara kunci, seperti Michael Feener (National University of Singapore), pakar religius studies, Ariel Heryanto (Australia National University), pakar culture studies, R.W. Connel (University of Sydney Australia), seorang ahli gender/maskulinitas, serta Harry Aveling (La Trobe university). (Humas UGM/Satria AN)