Ketergantungan kehidupan manusia modern terhadap teknologi komunikasi dan informasi dari waktu ke waktu kian meningkat. Masyarakat semakin lekat dan nyaris tidak dapat dipisahkan dari aktivitas sosial yang berbasis pada penerapan infrastruktur telekomunikasi. Tren penggunaan komputer, internet, dan mobile phone kian menggejala dan menginsepsi kehidupan privat dan publik. Penggunaan hasil teknologi komunikasi dan informasi berbasis new media telah mengubah peradaban komunikasi. Hal serupa terjadi dan terpotret pula di Indonesia. “Kehadiran new media memang menghadirkan sejumlah kemudahan dan menjanjikan hal-hal bersifat positif. Secara positif, penggunaan new media bermanfaat dalam pemuliaan kehidupan manusia , donasi kesejahteraan, solidaritas, antikesewenangan, dan anti kekerasan, terekspos dan terespon secara cepat. Harkat dan martabat manusia kembali terangkat melalui superioritas fungsional new media,†kata Prof. Nunung Prajarto, M.A., Ph.D. di Balai Senat UGM, Selasa (2/11), saat dikukuhkan sebagai guru besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.
Dalam pidato ilmiah berjudul “New Media, HAM, dan Ilmu Komunikasi: Aras dan Arus Perhatianâ€, dikatakan Nunung bahwa meskipun new media menjanjikan hal positif, berbagai gugatan muncul terhadap kemampuannya dalam peningkatan kehidupan masyarakat. New media dipandang kurang produktif dalam proses demokratisasi karena cenderung elitis dan tidak disertai kemudahan bagi publik untuk mengaksesnya. Selain itu, kontrol negara terhadap dinamika pertumbuhan konten new media masih cukup tinggi, seperti yang terjadi di China dan Malaysia.
Menurut pandangan Nunung, kontrol secara berlebihan terhadap denyut dinamik new media justru berpotensi memicu munculnya pelanggaran hak asasi manusia oleh aparatur negara itu sendiri. Kekacauan masalah kontrol new media lebih disebabkan oleh tumpang tindih mandat dan intervensi wewenang stakeholder. “Langkah yang sesuai terhadap new media memang perlu dilakukan dengan berbasis pada undang-undang dan sejumlah peraturan. Dalam hal ini, kewaspadaan preventif dikembalikan kepada kedewasaan penyelenggara serta pengguna new media, sementara tindakan hukum harus tegas diterapkan jika terjadi pelanggaran dan bukan berangkat dari praduga atau tekanan kelompok tertentu,†urai pria kelahiran Yogyakarta, 21 Desember 1964 ini.
Lebih lanjut dikatakan Nunung, keberadaan new media terhadap suatu peristiwa sulit untuk benar-benar menjadi storyteller yang netral. Bias media sangat mungkin menjadikan new media menjadi pemicu pelanggaran hak asasi saat menyalurkan informasi yang membabi buta, menjadi pereduksi pelanggaran jika secara arif menjalankan karakter interaktifnya, dan bahkan menjadi pengabai dengan konsekuensi munculnya pembiaran pelanggaran. Menyadari karakter new media yang berbeda dengan kepasifan publik media konvensional, menjadikan ruang pelanggaran di new media menjadi lebih luas. Objektivitas sebagai dasar pertukaran informasi menjadi bahan yang riskan dan berujung pada pelanggaran hak-hak asasi.
Ditambahkan oleh Ketua Program Studi S-2 Komunikasi Fisipol UGM ini, euforia orang yang melibatkan diri dalam komunitas virtual dapat mengarahkan terjadinya pelanggaran hak asasi jika propaganda, brainwashing, dan penciptaan fanatisme dangkal lebih mewarnai komunitas tertentu.
Menyikapi kondisi tersebut, suami Ratna Winingrum ini berpendapat bahwa negara dalam hal ini perlu menyediakan akses new media secara adil dan jeli dalam mengelaborasi kemampuan new media untuk perbaikan serta peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia. Selayaknya kemudian, new media dapat memaksimalkan kehadirannya di Indonesia untuk memperbaiki penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, kehidupan demokrasi, serta kesejahteraan umat manusia. “Keseluruhan hal tersebut sepatutnya menjadi perhatian kita bersama apabila kehadiran dinamis new media di Indonesia tidak ingin tertaburi tinta hitam pelanggaran hak-hak asasi manusia dalam menyampaikan pendapat dan berekspresi,†katanya. (Humas UGM/Ika)