YOGYAKARTA-Pembahasan masalah gender selama ini kebanyakan selalu diarahkan kepada perempuan. Padahal, persoalan gender bermakna lebih dalam, yaitu membahas hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki. Dari masing-masing pihak, baik perempuan maupun laki-laki, ini pun masih bisa diperdalam lagi. “Tentu ada perbedaan pengkajian, misalnya perempuan dewasa dengan gadis atau laki-laki muda dengan yang tua,†kata sosiolog dari University of Sydney, Raewyn Connell, ketika berbicara pada The 2nd International Graduate Student Conference on Indonesia, Indonesia and The New Challenges: Multiculturalism, Identity, and Self-Narration, di Sekolah Pascasarjana UGM, Rabu (3/11).
Meskipun masih banyak pembahasan masalah gender yang hanya berfokus kepada perempuan, diakui Connell, di dunia sudah mulai terjadi pergeseran dan kemajuan penelitian masalah gender ini. Ia mencontohkan beberapa kasus yang terjadi di Jepang. Di Jepang, kaum laki-laki saat ini justru sudah banyak yang berupaya untuk menyejajarkan perannya dengan kaum perempuan. Mereka juga ingin menggantikan beberapa peran yang selama ini banyak dilakukan perempuan, seperti merawat anak hingga memasak. “Sudah banyak kemajuan seperti yang terjadi di Jepang, misalnya. Laki-laki di sana juga ingin berperan layaknya tugas yang selama ini banyak diemban kaum perempuan,†ujar Connell.
Dijelaskan Connell, dalam perjalanannya persoalan yang menyangkut kaum laki-laki (maskulinitas) terus berkembang. Hanya saja, perkembangan pembahasan maskulinitas tidak secepat pembahasan tentang feminisme. Perubahan cara pikir (mindset) tentang maskulinitas lebih lambat dibandingkan dengan feminisme. Di sini, muncul konstruksi institusional (pemerintah/negara) yang berperan di dalamnya. Ia mencontohkan pada masa kolonialisme, laki-laki akan diwajibkan menjadi seorang militer. “Konstruksi institusional ini, misalnya, pada masa kolonialisme. Dampaknya akan berbeda bagi kaum laki-laki di Iran, laki-laki di Perancis atau Jepang, misalnya,†tambah Connell.
Hampir senada dengan Connell, peneliti UGM, Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., D.E.A., menyatakan research (penelitian) tentang maskulinitas memang masih terbatas. Akibatnya, pakar/ahli tentang maskulinitas di Indonesia tidak banyak. Kondisi ini dapat menjadi peluang bagi peneliti atau mahasiswa untuk mengangkat topik penelitian tersebut. “Nanti subtemanya bisa diangkat, misalnya pada persoalan pendidikan, kesehatan, seksualitas, dan sebagainya,†kata Wening.
Selain Connell, hadir sebagai pembicara kunci dalam konferensi dan seminar tersebut, antara lain, Michael Feener (National University of Singapore), pakar religius studies, Ariel Heryanto (Australia National University), pakar culture studies, serta Harry Aveling (La Trobe University). Acara yang melibatkan mahasiswa S-2 dan S-3 ini juga akan membahas sekitar 95 paper/tulisan mahasiswa dari berbagai negara, antara lain Indonesia, Jepang, Jerman, Singapura, Australia, Filipina, AS, Bangladesh, dan Myanmar. (Humas UGM/Satria AN)