Perubahan paradigma UGM menjadi universitas riset tidak hanya memerlukan tantangan dan pengelolaan universitas dan staf pengajarnya, tetapi juga memberikan perubahan yang signifikan dalam peningkatan mutu dan pengelolaan riset dengan meningkatkan kolaborasi riset antara peneliti, industri dan masyarakat.
Dalam upaya meningkatkan kerjasama dengan industri dan masyarakat lokal maupun internasional, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) UGM melalui kantor perwakilan Jakarta yang beralamat di Gedung Menara Eksekutif Lantai 8 Jl MH Thamrin Kav 9 memperkenalkan dan menawarkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh dosen maupun peneliti di UGM melalui event Mini Expo dengan tema “Pengurangan Risiko Bencanaâ€, pada tanggal 7-30 Mei 2008.
Menurut Ketua LPPM UGM Prof Dr Ir Danang Parikesit, kegiatan mini expo ini dalam upaya mempromosikan upaya penanganan, prototipe maupun desain teknologi hasil penelitian UGM. Selain itu, tambah Danang, kegiatan ini pula diharapkan setidaknya mampu mepromosikan teknologi dan peluang usaha yang mungkin dikembangkan kepada masyarakat.
“Selain promosi, kegiatan ini juga dalam upaya menjaring investor untuk memproduksi, mengkomersialkan dan mengembangkan produk hasil inovasi dari UGM,†kata Danang, Rabu (6/5) di Kantor Perwakilan LPPM UGM Jakarta.
Beberapa hasil riset yang dipamerkan diantaranya; alat pemantau gerakan longsor, sistem pemantau hujan dan penerapan untuk peringatan dini bencana banjir, buku saku untuk meriksa tahap-tahap pembangunan rumah yang lebih aman, alat pemantau peringatan dini bahaya lahar dingin Gunung Merapi, maket rumah tahan gempa, proses daur ulang remukan pasangan bata, dan model sistem komunikasi bencana.
Pembukaan event mini expo diawali dengan workshop dan diskusi panel ‘Pengurangan Risiko Bencana’ dengan menghadirkan nara sumber pakar geologi UGM Dr Dwikorita Karnawati. Beberapa undangan yang tampak hadir, perwakilan Badan Kordinasi Nasional, Direktur Mitigasi Bencana Nasional, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Lahan.
Menurut Dwikorita, penyebab terjadinya longsor akibat daerah lahan atau daerah pegunungan yang tersusun atas batuan lapuk yang berusia lebih dari 5 tahun sehingga tertutup oleh tanah subur yang gembur mencapai 2 meter.
“Daerah pegunungan tersebut tertutup batuan lapuk di atasnya, sedangkan daerah lahan yang rentan longsor adalah daerah yang berada di lapisan miring serta memiliki bebatuan retakan yang menutupinya,†jelasnya.
Selain itu, tambah Dwikorita, daerah dataran atau berbukit juga berbahaya dibanding daerah lereng sebab lokasinya yang berada di daerah lembah sungai yang berpotensi diterjang batuan dan banjir.
“Kerentanan tersebut akan terus bertambah jika lokasinya juga rawan terjadinya gempa bumi,†ujarnya.
Dwikorita Karnawati menghimbau agar masyarakat waspada terhadap bencana tanah lonsor. Menurutnya, di musim penghujan tingkat bahaya longsor akan semakin meningkat. Terutama di daerah yang menjadi langganan longsor seperti perbukitan dan daerah lereng.
“Kejadian longsor disebabkan oleh gerakan tanah disertai dengan suara gemuruh atau suara gemeretak dari arah atas lereng, yang pada awalnya dapat disertai batu-batu kecil atau kerikil yang menggelinding ke arah bawah lereng,†ujarnya.
Apabila mendengar suar gemuruh ini, Dwikorita menyarankan agar jangan segera menghampiri lokasi gerakan tanah atau longsoran, atau bahkan berkerumun pada lokasi tersebut dan segera menghubungi aparat pemerintah setempat dan mencari bantuan penyelematan.
“Segera berusaha lari menghindar dari arah suara tersebut menuju ke lahan yang lebih datar dan jauh dari lereng yang rentan, dan jauh dari lembah sungai. Sebaiknya kenalilah lahan-lahan yang aman di sekitar tempat tinggal masing-masing,’ katanya.
Guna mewaspadai gejala awal tanah longsor akibat gerakan tanah atau batuan sebagai peringatan dini bisa dilihat dengan miringnya pohon-pohon dan tiang-tiang pada lereng, muncul retakan-retakan tanah berbentuk lengkung memanjang berbentuk tapal kuda pada lereng. Selain itu, lereng tiba-tiba terlihat menggembung, dan muncul rembesan-rembesan air pada lereng.
Sedangkan dari bangunan rumah, ditandai dengan munculnya retakan pada lantai dan tembok bangunan. Amblesnya sebagian lantai konstruksi bangunan ataupun amblesnya tanah pada lereng. Pintu atau jendela bangunan tiba-tiba tidak dapat dibuka.
Dwikorita menyarankan agar segera melakukan upaya perbaikan lereng dan lingkungan, terutama memperbaiki geometri lereng, melancarkan saluran-saluran air pada lereng, membuat perkuatan lereng dan menanami lereng dengan vegetasi yang tepat. (Humas UGM)