Pemanfaatan lahan oleh masyarakat untuk kepentingan hidup dan ekonomi di wilayah hulu, di pesisiran Teluk Banten dan daerah sekitarnya sudah dimulai sejak zaman kerajaan Banten Lama, dengan pusat pemerintahan di Banten Girang. Alih fungsi hutan bakau yang dikonversikan menjadi tambak pada tahun 1942 telah menjadikan aktif proses erosi di daerah hulu.
Menurut Drs. I Nyoman Sukmantalya, M.Sc., selain disebabkan oleh kesalahan manusia dalam memanfaatkan lahan yang menghasilkan sedimen yang besar, proses erosi di daerah hulu ini mendapat dukungan curah hujan >3000 mm/tahun. Sementara itu, erosi di wilayah pesisiran diduga akibat gempuran tenaga gelombang dan arus sejajar pantai yang terus berjalan sehingga menjadikan puluhan hektar tambak penduduk hilang. “Pendangkalan pelabuhan juga terjadi di sekitar pelabuhan Karangantu. Di samping itu, terbentuknya tombolo, yakni tersambungnya Pulau Dua dengan daratan Pulau Jawa dapat ditemui di daerah ini,” kata Kepala LAB Geospasial Parangtritis, Sabtu (6/11), saat melaksanakan ujian terbuka Program Doktor Ilmu Geografi UGM.
Mempertahankan disertasi “Morfodinamika Kepesisiran Teluk Banten dengan Menggunakan Citra Penginderaan Jauh Multitemporal”, pria kelahiran Denpasar, 24 Oktober 1954, ini menjelaskan proses erosi di lokasi delta Ciujung lama, tepatnya di Tanjung Pontang hingga kini terus berjalan. Terbentuknya Delta Ciujung yang dimulai di Desa Tengkurak, Kecamatan Tirtayasa, menjadi bukti nyata proses akresi juga aktif di daerah tersebut. Oleh karena itu, dengan teknologi survei dan pemetaan berupa pemanfaatan citra penginderaan jauh citra multi temporal dirinya meyakini mampu menyediakan informasi kepesisiran dengan baik.
Hasil penelitian yang ia lakukan di wilayah kepesisiran Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, temuan teoretis memperlihatkan morfodinamika suatu teluk yang wilayah kepesisirannya berbeda genetik bentuk lahannya, pada bentuk lahan asal vulkanik dinamikanya cenderung lebih lambat dibandingkan dengan bentuk lahan asal fluvial dan bentuk lahan asal marin. Sementara itu, teluk cenderung menyempit ke arah bentuk lahan asal vulkanis.
Di sisi lain, temuan praktis menunjukkan wilayah kepesisiran Teluk Banten termasuk memiliki hidrodinamika yang sangat aktif. Hal ini ditunjukkan dengan erosi dan akresi yang cepat sehingga memerlukan usaha konservasi di dalamnya. Salah satu bentuk upaya konservasi yang dilakukan adalah dengan mendasarkan pada karakteristik morfologi yang dinamai morfokonservasi. “Peta morfokonservasi Teluk Banten ini dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam melindungi wilayah kepesisiran Teluk Banten terhadap kerusakan lebih lanjut,” ujarnya.
Nyoman menambahkan morfodinamika di wilayah kepesisiran Teluk Banten dan daerah sekitarnya merupakan suatu dinamika dari wilayah kepesisiran yang terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dengan intensitas beragam. Berdasar hasil perhitungan laju erosi yang ada dengan rekaman citra penginderaan jauh pada tahun 1994-2000 mencapai 72.561 ha dan total akresi dengan menggunakan data citra inderaja berjumlah 188.866 ha. “Hal ini menunjukkan bahwa antara proses erosi dan akresi, maka proses akresi memiliki kecenderungan mendominasi pertumbuhan wilayah kepesisiran Teluk Banten dan sekitarnya,” tutur Nyoman yang dinyatakan lulus dengan predikat memuaskan dan menjadi doktor ke-1302 yang diluluskan UGM. (Humas UGM/ Agung)