YOGYAKARTA-Secara tektonik, kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, yakni lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Di samping itu, terdapat banyak sesar-sesar aktif yang terletak pada badan pulau di pulau-pulau Indonesia. Konsekuensi dari tatanan yang demikian membuat wilayah kepulauan Indonesia menjadi daerah rawan gempa bumi, bahkan rawan terhadap bencana tsunami. “Dengan kondisi ini, tentu saja kita harus tahu dan selalu siap bahwa daerah kita rawan dengan bencana, termasuk gempa bumi,†ujar Kepala Bidang Bina Operasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Geofisika, dan Klimatologi (BMKG), Jaya Murjaya, dalam Workshop Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi melalui Pendekatan Prekursor Gempa Bumi, yang digelar di Wisma MM UGM, Selasa (9/11).
Dalam paparannya, Jaya Murjaya mencontohkan pertemuan lempeng Indo-Australia dengan Eurasia terletak di sepanjang lepas pantai barat Pulau Sumatera berlanjut ke selatan Jawa, Nusa Tenggara, dan berbelok ke Laut Banda. Sepanjang daerah ini merupakan wilayah yang sangat potensial terjadi gempa bumi tektonik dengan kekuatan besar dan sangat berpeluang memicu terjadinya tsunami. “Dalam kurun waktu 2009-2010 saja terjadi 4 kali tsunami di kawasan Indonesia Barat, yaitu di Tasikmalaya, Padang, Aceh, dan terakhir Mentawai,†imbuhnya.
Untuk mengurangi risiko atau dampak gempa bumi kekuatan besar (termasuk earthquake tsunamigenic), perlu dilakukan beberapa kajian. Salah satu kajian adalah dengan melakukan pemantauan ‘prekursor’ pada suatu wilayah yang dianggap mempunyai potensi gempa bumi besar. Pemantauan ‘prekursor’ yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh BMKG adalah pemantauan seismic, magnet bumi, gravitasi, dan metode lainnya. “Kajian pemantauan ‘prekursor’ ini merupakan salah satu usaha dalam rangka untuk memulai usaha peramalan kejadian gempa bumi,†kata Jaya yang pernah menjabat sebagai Kepala BMKG Yogyakarta ini.
Staf Ahli Gubernur DIY Bidang Pembangunan, Ir. Bayudono, M.Sc., menambahkan dilakukannya ‘prekursor’ atau pratanda terkait dengan gempa bumi dapat terus dilakukan sehingga lambat laun mampu memprediksi terjadinya gempa bumi dengan lebih akurat, baik ‘prekursor’ yang dilakukan dengan berbagai metode, seperti dengan melihat emisi gas, deformasi gravitasi permukaan bumi, perilaku hewan, maupun permukaan air tanah. “Soal waktu dan lokasi gempa bumi memang masih sulit diketahui, tapi untuk pratanda bisa segera dipelajari dan didistribusikan kepada masyarakat,†kata Bayudono.
Penguatan pratanda gempa bumi dilakukan dengan membuat jejaring (network) banyak pihak sehingga hasilnya semakin akurat dan lebih baik. Di sisi lain, paradigma masyarakat menghadapi bencana, termasuk gempa bumi, juga harus diubah dengan memosisikannya sebagai bagian dari risiko kehidupan manusia. “Dengan melihat itu, maka kita bisa menyiapkan segala sesuatunya, seperti terkait aturan pembangunan rumah tahan gempa hingga penataan pemukiman,†ujar Bayudono.
Sementara itu, peneliti dari Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM, Dr. Wahyudi, M.Sc., mengatakan salah satu alat yang telah dikembangkan untuk memprediksi gempa bumi adalah atropatena. Atropatena adalah sebuah detektor variasi medan gravitasi frekuensi rendah, yang muncul sebelum terjadinya gempa bumi.
Atropatena ini menggunakan prinsip dasar torsion balance dalam eksperimen Cavendish (suatu eksperimen untuk menentukan konstante gravitasi G). Alat ini setidaknya dapat merekam variasi medan gravitasi akibat adanya tectonic wave. Menurut Wahyudi, terdapat peluang yang sangat luas untuk mengembangkan keilmuan dari atropatena,sehingga akhirnya dapat betul-betul bermanfaat bagi masyarakat. “Prediksi gempa tidak bisa dilakukan atropatena secara individu, tetapi dengan bentuk network. Saat ini terdapat tiga atropatena yang berada di Azerbaijan, Pakistan, dan Indonesia,†tutur Wahyudi.
Bukti bahwa Indonesia cukup sering digoyang gempa dapat dilihat, misalnya, pada pekan ini saja di Yogyakarta setidaknya dilanda gempa bumi sebanyak dua kali. Akhir pekan lalu, di Wonosari terjadi gempa bumi sebesar 4 SR. Yang terbaru, hari ini gempa berkekuatan 5,6 SR terjadi berpusat di 125 km barat daya Bantul dengan kedalaman 10 km. (Humas UGM/Satria AN)