SLEMAN (KU) – Sebagian besar pengungsi korban letusan Gunung Merapi yang tinggal di beberapa titik pos pengungsian tidak mengalami gangguan psikologis karena memiliki kemampuan dalam proses penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan. “Sekitar 97 persen pengungsi bisa mengatasi gangguan psikologis temporer berupa shock sesaat,” kata koordinator tim relawan psikologi, Rahmat Hidayat, Ph.D., yang ditemui di posko kesehatan di Stadion Maguwoharjo, Jumat (12/11).
Sampai saat ini, tim relawan yang tergabung dalam Center for Public Mental Health (CPMH) atau Pusat Kesehatan Mental Masyarakat, Fakultas Psikologi UGM, berhasil memberikan bantuan psikologis kepada 340-an pengungsi. “Kita memberi bantuan psikologi dan konseling, mulai dari kasus ringan hingga yang paling berat,” kata Rahmat.
Ia menyebutkan untuk kasus yang lebih berat, diterjunkan tim psikolog dan mahasiswa S-2 Psikologi. Sementara untuk play therapy bagi anak-anak dilakukan oleh mahasiswa S-1 Psikologi. Dalam memberikan bantuan psikologis, pengungsi dibedakan menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah mereka yang mengungsi karena lokasi rumahnya saat ini sedang tidak aman untuk ditempati, sedangkan kategori kedua adalah mereka yang betul-betul sebagai korban karena rumah yang dihuni sudah hancur dan terdapat anggota keluarga yang meninggal. “Pengungsi yang betul-betul menjadi korban ini tentunya perlu mendapat penanganan kita secara serius,” ujarnya.
Kasus yang paling banyak mendapat bantuan psikologi, menurut Rahmat, adalah pengungsi yang mengalami ketakutan dan kecemasan secara terus-menerus. Mereka kebanyakan mengalami insomnia, tidak tenang, dan cemas secara berlebihan. “Jumlahnya cukup banyak,” katanya.
Selain itu, tim relawan Psikolog UGM juga menangani 40 kasus yang mengarah kepada kasus gangguan jiwa. Namun begitu, kasus tersebut bukan kasus baru akibat bencana Merapi, melainkan memang sudah memiliki riwayat gangguan tersebut. “Gangguan itu muncul lagi karena adanya perubahan drastis dengan kondisi mereka menjadi pengungsi,” terangnya.
Anggota tim psikolog, Dr. Tina Afiatin, mengatakan dukungan sosial (social support) dari keluarga atau sesama pengungsi sangat membantu untuk dapat menyesuaikan diri terhadap kondisi yang dialaminya saat ini. “Mereka yang mengalami gangguan proses penyesuaian diri biasanya kurang atau tidak mendapat dukungan dari kerabat keluarganya,” katanya.
Pengungsi yang mengalami gangguan penyesuaian diri biasanya mengalami insomnia, hipertensi, dan psikosomatis. Hal itu ditunjukkan dengan keinginan untuk segera pulang ke rumah, tidak betah tinggal di pos pengungsian, tidak mau makan dan bicara. Untuk kasus yang berat, biasanya mereka mengalami ketakutan secara terus-menerus, sering menangis, dan mengalami halusinasi. (Humas UGM/Gusti Grehenson)