YOGYAKARTA- Posisi Indonesia saat ini terus berjuang dan mendukung kelanjutan Doha Development Agenda (DDA) dengan kepentingan pada sektor special product (SP) dan special safeguard mechanism (SSM) atau mekanisme pengamanan khusus serta peningkatan akses pasar, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional, khususnya dalam sektor perdagangan. Guna mencapai hal tersebut, Indonesia menggunakan cara aliansi dalam strategi diplomasi dengan bergabung pada G-33, Cairns Group, dan G-20. SP dan SSM adalah hasil dari lobi negara-negara berkembang untuk mengatasi ketidakseimbangan dalam kesepakatan WTO, yang memiliki makna penting bagi implementasi klausul perlakuan khusus dan berbeda. “Khususnya di sektor perdagangan, Indonesia tetap memperhatikan kepentingan nasional untuk mendukung kelanjutan DDA ini,†kata peneliti pada Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) UGM, Angga Kusumo H., dalam diskusi bulanan PSPD di Perpustakaan Unit lll, Lantai 3, Jumat (19/11).
Lebih lanjut, Angga menambahkan dalam DDA sektor pertanian merupakan isu yang penting dan sensitif karena 2/3 perekonomian dunia, khususnya negara berkembang, adalah sektor pertanian. Sementara itu, pasar pertanian yang potensial sejauh ini terjadi di antara negara berkembang. “Di sini juga tidak lepas dari pengembangan aspek lain, seperti pengembangan kawasan pedesaan serta mengenai ketahanan pangan,†imbuhnya.
Agreement on Agriculture (AoA) ini merupakan perjanjian liberalisasi perdagangan untuk komoditas pertanian dengan memotong tarif, subsidi, dan pembukaan pasar yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1995 silam. Artikel 20 AoA menyatakan bahwa negara anggota sepakat untuk melanjutkan perundingan sekaligus mengevaluasi proses implementasi mengenai sektor pertanian pascaputaran Uruguay pada awal tahun 2000. “Terdapat tiga pilar yang mendistorsi perdagangan, yakni subsidi domestik, subsidi ekspor, dan akses pasar,†katanya.
Posisi Indonesia masih tetap memperjuangkan konsep SP dan SSM agar menjadi bagian dari AoA. Hal ini terus dilakukan dengan pertimbangan konsep ini akan menjadi “pengaman†bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya. Beberapa produk atau komoditas yang termasuk dalam SP, antara lain beras, kedelai, jagung, dan gula.
Untuk pengurangan total distorting, dukungan perdagangan (OTDS) posisi Indonesia serupa dengan G-20, yakni setuju dengan pemotongan sebesar 80% pada band (a), 75% pada band (b), dan 70% pada band (c). Di sisi lain, Indonesia juga setuju dengan adanya penghapusan subsidi ekspor pada 2013 bagi negara maju dan 2016 bagi negara berkembang. “Indonesia juga sepakat adanya penghapusan subsidi ekspor di tahun 2013 bagi negara maju dan 2016 di negara berkembang,†kata Angga.
Dalam diskusi tersebut, Angga mengakui isu pertanian ini menjadi high level issue, apalagi setelah kemunculan aliansi, yakni G-33, G-20, ACP, Cairns Group, Kelompok UE dan G-10, dengan kepentingan yang berbeda-beda. Hal ini dinilai juga akan menciptakan implikasi politik lain karena menciptakan momentum diplomasi di meja perundingan yang lain. “Selain itu, tentu akan ada kemungkinan potensi kerugian yang lebih besar akibat dari kesepakatan yang belum terwujud,†tuturnya. (Humas UGM/Satria AN)