CANGKRINGAN – Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM dan Dinas Pertanian Provinsi DIY membakar ratusan bangkai hewan ternak milik warga Dusun Srunen, Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, yang mati akibat awan panas Merapi. Selain dibakar, lokasi di sekitar kandang ternak tersebut juga disemprot desinfektan oleh tim relawan. Ketua posko medik veteriner FKH UGM, Prof. Dr. drh. Ida Tjahajati, M.S., mengatakan pembakaran bangkai ternak korban Merapi ini dilakukan untuk membasmi wabah penyakit yang kemungkinan muncul dari bangkai-bangkai ternak. Selain itu, ternak yang mati ini juga menimbulkan bau tidak sedap. “Makanya semua bangkai ini kita semprot untuk membunuh kuman dan mempercepat proses pembusukan,” kata Ida Tjahajati di Dusun Srunen, Cangkringan, Sleman, Senin (22/11).
Menurut Guru Besar FKH UGM ini, bangkai ternak yang mati dapat menjadi sumber penyakit karena timbulnya kuman dan bakteri yang sewaktu-waktu menular ke manusia. “Kita khawatir penyakit yang ditimbulkan bisa menular ke manusia atau disebut zoonosis,” terangnya.
Disebutkan Ida bahwa beberapa ternak yang dibakar adalah sapi dan belum termasuk ternak-ternak lain, seperti kambing dan ayam, yang juga mati akibat terkena awan panas. Sementara itu, berdasarkan hasil pendataan, di Sleman sedikitnya terdapat ternak mati sebanyak 2.079 ekor.
Kepala Seksi Keswan dan Kesmavet, Dinas Pertanian, Provinsi DIY, drh. Haris Handono mengatakan pembakaran bangkai ternak bertujuan untuk menghindari sumber penyakit yang ditimbulkan oleh bangkai ternak. kendati saat ini hewan yang mati berada di sekitar rumah yang belum dihuni kembali oleh pemiliknya. “Kita mengantisipasi dampak yang bisa ditimbulkan bagi kesehatan masyarakat apabila tidak ditangani,” tuturnya.
Untuk melakukan pembakaran hewan ternak di rumah-rumah penduduk yang sudah dalam kondisi rusak parah ternyata tidak mudah. Hal itu disebabkan masih sulitnya akses masuk ke lokasi akibat banyak pohon yang tumbang dan menghalangi jalan masuk. “Belum lagi kita harus selalu waspada jika sewaktu-waktu ada sirine tanda bahaya Merapi,” tambahnya.
Suyono (30), warga Dusun Srunen, mengaku sengaja membakar sendiri dua ekor bangkai hewan ternak miliknya karena tidak tahan dengan bau tidak sedap yang ditimbulkan. Namun, ia baru dapat membakar dua dari enam ekor sapi miliknya. “Sisanya masih di kandang. Untuk kita keluarkan cukup sulit. Kalau dibakar di kandang, kita takut kandangnya terbakar,” ujar bapak satu anak ini.
Dengan suara agak lirih, pria kelahiran Srunen ini mengaku tidak memiliki harta apapun sekarang selain pakaian yang dikenakan. Namun, ia tetap merasa bersyukur karena semua keluarganya dapat selamat dari bencana erupsi Merapi yang melanda desanya pada Jumat, 5 November lalu. “Kini saya seperti orang yang sedang putus asa, tersisa hanya baju yang nempel di badan,” katanya.
Masyarakat Srunen kebanyakan bekerja sebagai peternak sapi perah. Tidak mengherankan, aset yang paling berharga bagi mereka adalah hewan ternak sebagai sumber nafkah. Tiap pagi mereka dapat memperoleh uang dari hasil memerah susu yang kemudian dijual ke koperasi terdekat. Kini, tidak ada lagi aset yang mereka miliki kecuali nyawa di badan. Ditambah, kondisi rumah mereka saat ini dalam kondisi rusak parah sehingga tidak layak untuk ditempati lagi. Mereka juga tidak tahu kapan dapat membangunnya kembali. “Kita menunggu kapan bisa tinggal di rumah hunian sementara. Tidak mungkin tinggal di pengungsian terus, kondisinya serba susah,” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.
Bersama salah satu adik laki-lakinya, Suyono membersihkan puing-puing genteng rumahnya yang roboh. Sedikit gemetar, ia menyaksikan hewan ternak yang dibakar di hadapannya. Barangkali ia tidak tega membakar hewan yang selama ini telah menjadi bagian dari hidupnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)