Dieng merupakan kawasan pegunungan yang memiliki fungsi vital dan strategis bagi ekosistem di sekitarnya. Namun, adanya konversi untuk pertanian holtikultur dan berkurangnya proporsi hutan membuat kondisi lingkungan pegunungan semakin tertekan. Proporsi daerah berhutan yang sepenuhnya difungsikan untuk perlindungan hingga saat ini masih belum mencukupi. Sementara itu, areal yang dimanfaatkan untuk keperluan pertanian dan perkebunan masih menjadi proporsi yang dominan. “Ketidakseimbangan pemanfaatan lahan yang lebih menekankan pertimbangan produksi dan mengabaikan pertimbangan konservasi menjadi penyebab utama degradasi lingkungan di wilayah Dieng. Seperti diketahui, pegunungan di Indonesia hampir 75% dalam kondisi rusak juga akibat dua hal tersebut,†jelas Ir. Nur Sumedi, M.P., Kepala Loka Litbang Hutan Monsoon Ciamis, Badan Litbang Kementerian Kehutanan, di Fakultas Kehutanan UGM, Selasa (23/11), dalam ujian terbuka pada Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan UGM.
Disebutkan Nur Sumedi saat mempertahankan disertasi berjudul “Strategi Pengelolaan Wilayah Hutan Pegunungan: Studi Kasus Pegunungan Dieng Jawa Tengahâ€, erosi di Pegunungan Dieng sangat tinggi, rata-rata 10,7 mm/tahun, yang menyebabkan pendangkalan Waduk Mrica yang mencapai 40%. Di samping itu, juga menjadi penyebab banjir dan tanah longsor. Selama tiga tahun terakhir, tercatat terjadi 17 kali banjir dan 70 bencana tanah longsor di Wonosobo.
Menurut pria kelahiran Wonosobo, 18 Juli 1969 ini, kawasan Dieng sudah melewati ambang kritis dengan tingkat erosi mencapai rata-rata 180 ton/ha/th. Bahkan, tingkat erosi pernah mencapai 400 ton/ha/th pada tahun 2002. Pengelolaan wilayah pegunungan dengan pendekatan sektoral, menurut Nur Sumedi, menjadi salah satu penyebab kerusakan pegunungan Dieng. Selain itu, disebabkan pula oleh belum adanya kesepahaman dalam pengelolaaan pegunungan antara stakeholder.
Karena kondisi tersebut, Nur Sumedi merekomendasikan adanya pengelolaan wilayah pegunungan yang menggunakan pendekatan multidisiplin, lintas sektoral, dan partisipasi multistakeholder. Dalam pengelolaan wilayah pegunungan juga harus didasarkan atas keseimbangan dinamis aspek sosial ekonomi dan ekologis serta hubungan hulu-hilir. “Sementara pada tahap operasional, diperlukan langkah yang nyata dan jelas apa yang harus dilakukan pada semua level,†terangnya.
Konsep agroforestry di mata Nur Sumedi menjadi salah satu pilihan pengelolaan pegunungan guna mengatasi degradasi Pegunungan Dieng. “Melalui sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian ini mampu meningkatkan keuntungan ekonomis, namun kelestarian lingkungan tetap terjaga,†tutur pria yang berhasil lulus dengan meraih predikat cum laude ini. (Humas UGM/Ika)