YOGYAKARTA-Dua puluh persen anggaran pendidikan tidak serta merta menjadi kabar gembira bagi masyarakat. Justru di sebagian atau bahkan banyak pihak menjadi cemas dan skeptis dengan besarnya anggaran pendidikan tersebut. Tiba-tiba, kita seperti terjerembab dalam kubangan: dua puluh persen ternyata jadi modal untuk “pesta”. Kenyataan buram itu kian lengkap setelah beberapa pejabat publik masuk bui gara-gara korupsi pendidikan. “Yang satu dijebloskan karena belanja buku dan yang lain karena pengadaan perlengkapan sekolah,†tutur pengamat hukum dan pendidikan, Eko Prasetyo, S.H., dalam Seminar Nasional “Peran Korupsi terhadap Dehumanisasi Pendidikan di Masa Kontemporerâ€, yang bertempat di Magister Manajemen UGM, Minggu (28/11).
Eko menambahkan begitu mudahnya lembaga pendidikan di Indonesia menjadi sarang korupsi, khususnya yang dilakukan oleh para pejabat, karena sejak awal pendidikan memang “menyuburkan” praktik tersebut. Sejak pendaftaran hingga ujian selalu saja tidak ada “keterbukaan†dalam mekanismenya. Situasi tertutup dan tanpa kontrol membuat lembaga pendidikan menjadi sarang ganas bagi semua orang yang beritikad curang. “Korupsi lebih subur karena mengandalkan relasi dan hubungan politik. Di samping itu, tentu juga korupsi diganjar oleh hukuman yang sepele,†katanya.
“Bencana†pendidikan dalam pandangan Eko kian lengkap dengan munculnya beberapa kasus lain. Ia mencontohkan tingginya angka kerusakan gedung sekolah, makin naiknya tingkat stres pada peserta didik akibat beban pelajaran dan kurikulum, hingga semakin sempitnya akses orang miskin untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik.
Untuk itu, Eko mengusulkan agar segera dilakukan manajemen yang terbuka, transparan, dan pembuktian laporan keuangan oleh tim independen. Kemudian, dikenakan penghukuman yang berdampak langsung kepada lembaga pendidikan yang terbukti para pelaku atau penyelenggaranya melakukan korupsi. Di samping itu, perlu pula dirintis pemberian penghargaan atau anugerah bagi kalangan pelapor kasus korupsi pendidikan di Indonesia. “Masyarakat perlu pula didorong untuk mengembangkan kesadaran atas bahaya langsung korupsi pendidikan ini,” kata Eko.
Sementara itu, anggota Komisi X DPR RI, Djamal Aziz, pada kesempatan itu mengatakan meskipun banyak kasus korupsi pendidikan, DPR RI terus mendorong pemerintah untuk memperbaiki mutu dan pemerataan pendidikan melalui politik anggaran. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran pendidikan semakin ditingkatkan untuk memastikan penyerapan anggaran dapat dilakukan dengan baik oleh pemerintah dan tepat sasaran. “Pendidikan hendaknya menjadi pilar untuk membentuk akhlak yang utama dalam membangun bangsa melalui upaya mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia,†kata Djamal. (Humas UGM/Satria AN)