Masyarakat pedesaan sudah tidak asing lagi dengan buah ciplukan. Ia banyak ditemukan di perladangan saat musim kemarau. Bagi masyarakat pedesaan, ciplukan dianggap sebagai tanaman liar yang tidak berguna dan sebagai buah biasa. Namun, siapa sangka jika ciplukan (Physallisa angulata L.) ternyata memiliki efek sitotoksik dan mampu menekan pertumbuhan sel kanker secara in vitro.
Menurut Amelilinda Monikawati, ciplukan mengandung senyawa Fisalin dan Withanolid yang disinyalir dari berbagai laporan mengandung aktivitas antikanker. Ia bersifat sitotoksik pada beberapa sel kanker, mampu menghambat pertumbuhan sel kanker payudara MDA-MB 231, sel adenokarsinoma paru NCL-H23, sel leukimia, dan memiliki aktivitas anthihepatoma pada sel hepatoma manusia Hep G2, Hep 3B, dan PLC/PRF/5. “Dari penelitian-penelitian yang dilakukan menguatkan bila ciplukan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai agen kemopreventif,” terangnya, di Ruang Fortakgama, Selasa (30/11).
Penelitiannya bersama dengan Inna Amandari dan Sofa Farida berhasil menguji potensi kemopreventif ekstrak etanolik herba ciplukan (EHC) pada sel kanker payudara. Berkat penelitian tersebut, ketiga mahasiswa Fakultas Farmasi UGM dinyatakan menjadi pemenang I Bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada Kompetisi Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia (PPRI) ke-9 tahun 2010, sekaligus berhak mendapat hadiah uang sebesar 12 juta rupiah.
Ketiganya sependapat bahwa aktivitas kemopreventif ekstrak etanolik herba ciplukan menjadi alternatif pengobatan penderita kanker payudara. Selama ini, pengobatan kanker payudara dengan kemoterapi dinilai kurang efektif. Dengan kemoterapi sering menimbulkan adanya resistensi dan beberapa efek samping, seperti mual, muntah, toksisitas pada jaringan normal, toksisitas pada jantung menekan sistem imun. “Karenanya, dibutuhkan suatu alternatif terapi kanker yang lebih aman, terjangkau, dan efektif,” tambah Amelianda.
Secara in vitro, penelitian ini berhasil menekan pertumbuhan sel kanker hingga 20%. Hanya saja, tidak saja secara in vitro, untuk mendukung penelitian potensi ciplukan sebagai agen kemopreventif pada kanker payudara, dilakukan pula uji in vivo. Uji secara in vivo ini bertujuan untuk mengobservasi pengaruh EHC pada hewan uji tikus betina galur Sprague Dawley.
Uji in vivo ini, menurut Amelianda, dilakukan melalui pengamatan hispatologi sel payudara dengan metode pewarnaan Hematoksilin & Eosin, serta aktivitas antiproliferasi EHC dengan metode AgNOR pada tikus yang terinduksi DMBA. Hasil penelitian menunjukkan EHC mampu menghambat proses karsiogenesis dari DMBA dan memiliki aktivitas antiproliferatif dengan menunjukkan black dots (nilai mAgNOR) dibandingkan dengan kelompok kontrol DMBA.
Dari penelitian yang dilakukan Amelianda, Inna, dan Sofa berkesimpulan ciplukan berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen kemoprevensi kanker payudara melalui induksi apoptosis dan penghambatan proliferasi sel. Selain itu, ciplukan dapat dijadikan pula sebagai agen ko-kemoterapi dengan doxorubicin. “Karenanya, uji selektivitas serta ekspresi berbagai macam protein yang terkait dalam pemicuan apoptosis dan regulasi daur sel perlu dilakukan untuk mengetahui kemanan dan mekanisme molekulernya dalam menghambat pertumbuhan kanker payudara,” tutur Amelianda. (Humas UGM/ Agung)