YOGYAKARTA-Keberadaan kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di daerah sebagaimana amanat UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dipertanyakan efektivitasnya sehubungan dengan kewenangan DPD yang masih terbatas, tidak seperti DPR. Pengamat hukum dari Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi UGM, Danang Kurniadi, mengatakan adanya kantor DPD atau kantor perwakilan DPD di daerah tidak menjadi jaminan aspirasi masyarakat semakin terserap dan terakomodasi. “Kalau ada kantor perwakilan tapi kinerja anggota DPD-nya tidak optimal, maka akan sama saja dan tidak akan efektif dan efisien,†kata Danang ketika berbicara dalam Seminar ‘Mengkaji Efektivitas Kantor Perwakilan DPD RI’, yang digelar di Fakultas Hukum UGM, Rabu (1/12).
Danang menambahkan selain ditakutkan tidak akan efektif, persoalan lain yang muncul adalah pemborosan anggaran. Apalagi melihat besarnya anggaran untuk membangun 33 kantor DPD di daerah yang jumlahnya diperkirakan mencapai lebih dari 1 triliun. Dalam kesempatan tersebut, Danang justru melihat celah terjadinya korupsi untuk pengadaan kantor-kantor tersebut semakin terbuka. “Ini sesuai dengan hasil survei Pukat terkait pengadaan barang dan jasa terbesar menciptakan terjadinya korupsi,†imbuhnya.
Untuk itu, Danang berharap jika nanti kebijakan tersebut tetap dijalankan, ada beberapa hal yang perlu ditekankan, yakni manajemen kantor DPD, mekanisme untuk mengantor anggota DPD setiap harinya, agenda, dan mekanisme tindak lanjut.
Senada dengan Danang, pakar hukum Universitas Atmajaya, Hestu Cipto Handoyo, juga sependapat sebelum berfokus pada pengembangan kantor DPD di daerah, ia lebih sepakat jika peran dan kewenangan anggota DPD diperjuangkan terlebih dahulu agar setidaknya sejajar dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR. “Tidak akan efektif jika posisinya masih saja tersubordinat seperti sekarang. Efektivitas kantor anggota DPD atau rumah aspirasi ini tetap tergantung dari kinerja para anggota juga,†ujar Hestu.
Sementara itu, Ketua Komite 1 DPD RI, Dani Anwar, mengatakan sebenarnya jumlah anggaran untuk pembuatan kantor DPD di daerah tidak sebesar yang ramai dibicarakan hingga lebih dari 1 triliun karena akan memanfaatkan tanah hibah dari pemerintah provinsi. Hanya saja, dari 33 provinsi baru, ada sekitar 16 provinsi yang telah memberikan surat persetujuan tanah hibah. “Sebenarnya, kalau nanti dikaji justru terjadi pemborosan. Ya, undang-undangnya ditinjau ulang saja agar kantor DPD di Jakarta saja dan tidak jadi di daerah,†ujar Dani.
Pembicara lain, peneliti senior Centre for Electoral Reform (Cetro), Refly Harun, menilai adanya kantor perwakilan DPD di daerah akan mengakibatkan munculnya beban pembiayaan yang besar, seperti anggaran untuk staf. Lain maknanya dengan kantor anggota DPD di daerah akan lebih menghemat anggaran.
Rely juga menilai konsep domisili yang selama ini diterapkan pada anggota DPR atau DPRD, misalnya, juga tidak dijalankan secara benar secara aktual. Untuk itu, konsep domisili keanggotaan anggota DPR hingga DPRD perlu dibenahi. “Konsep kantor perwakilan DPD, saya menolak, karena akan menyebabkan terjadinya pemborosan, misalnya untuk biaya staf dan lain-lain. Di samping itu, konsep domisili wakil rakyat kita selama ini tidak dijalankan secara benar sehingga perlu dibenahi,†kata Refly. (Humas UGM/Satria AN)