BULAKSUMUR – Program studi banding ke luar negeri yang dilakukan oleh para anggota DPR dan DPD disarankan untuk ditiadakan dari agenda kegiatan lembaga legislatif karena dinilai tidak aspiratif, memboroskan anggaran, dan potensial terjadi praktik korupsi.
Demikian yang mengemuka dalam seminar bertema ‘Studi Banding: Belajar atau Plesir’, yang berlangsung di Ruang Multimedia, Fakultas Hukum UGM, Kamis (2/12). Hadir sebagai pembicara, anggota DPD RI, Zulbahri, peneliti Pukat Korupsi UGM, Hifdzil Alim, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijkan Indonesia (PSHK), Ronald Rofiandri, dan pengamat parlemen dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), T.A. Legowo.
Toni berpendapat bahwa pencarian data dan informasi ke luar negeri dapat dilakukan melalui kegiatan pekan studi yang dilakukan di dalam negeri dengan mengundang narasumber dari mancanegara. “Pekan studi bisa dilakukan pada saat reses sehingga terkonsilidasi waktu dan tempat dan bisa dikelola secara nasional dan bisa efisien, efektif, dan produktif,” katanya.
Ronald Rofiandri menuturkan efektivitas kegiatan studi banding setidaknya harus memenuhi tiga prasyarat, yakni program studi banding yang pernah ada sebelumnya sudah berjalan efektif, adanya kebutuhan alat bantu studi banding, dan ketersediaan metode pengolahan hasil studi banding. Apabila ketiganya tidak terpenuhi, studi banding akan direspon negatif oleh publik. “Ini yang dialami DPR dan sialnya, persepsi negatif tersebut tidak tertutup kemungkinan bergeser pula ke DPD,” tuturnya.
Ronald menyebutkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dari program studi banding yang dilakukan selama ini juga terbukti tidak berjalan di DPR. Terbukti, dari 143 kunjungan ke luar negeri oleh anggota DPR periode 2004-2009, hanya tiga laporan hasilnya yang dipublikasikan. Sementara untuk keanggotaan DPR RI periode saat ini, setidaknya telah melakukan 19 kali studi banding ke 14 negara. “Ternyata, sampai sekarang pun tidak diketahui hasilnya seperti apa dan sejauh mana sudah diolah atau diapakan,” ujarnya.
Anggota DPD RI, Zulbahri, mengakui DPD baru untuk pertama kalinya melakukan studi banding sejak pertama kali berdiri pada 2004, yakni ke Inggris pada September lalu untuk mencari model bagi pembentukan pusat hukum yang sedianya hendak dibangun DPD. Ia menambahkan setiap kegiatan studi banding yang dilakukan DPD dimaksudkan untuk memperoleh pengalaman tentang keberadaan parlemen di mancanegara, dinamika penyelenggaran pemerintah daerah, dan reformasi desentralisasi. (Humas UGM/Gusti Grehenson)