YOGYAKARTA-Indonesia memiliki banyak wilayah yang rawan bencana, baik bencana alam maupun yang disebabkan oleh ulah manusia. Beberapa tahun terakhir ini, banyak sekali kejadian bencana yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Mentawai, Wasior, dan terakhir, Merapi. Hal ini yang kemudian menyadarkan kita akan pentingnya upaya preventif dan peta risiko bencana untuk mengantisipasi munculnya banyak korban akibat terjadinya bencana. “Ada upaya yang saat ini tengah digagas untuk segera membuat peta risiko bencana hingga level/tingkat provinsi di seluruh Indonesia,†kata Direktur Pengurangan Risiko Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Dr. Sutopo Purwo Nugroho, ketika berbicara dalam Sosialisasi Sistem Informasi Kebencanaan. Acara yang merupakan hasil kerja sama antara Bakorsurtanal-PSBA UGM ini digelar di Hotel Novotel, Kamis (2/12).
Purwo menambahkan pada 2011 mendatang diharapkan seluruh provinsi di Indonesia telah mempunyai peta risiko bencana yang dapat menjadi pedoman bagi masyarakat dan pemerintah daerah untuk mengantisipasi dan menanggulangi bencana. Dengan dana dekonsentrasi lebih dari 100 miliar, Bakorsurtanal bersama dengan pihak terkait, seperti BNPB, saat ini tengah membuat pedoman penyusunan peta risiko bencana ini. “Kalau harus menunggu lebih dari dua atau lima tahun untuk mempunyai peta risiko bencana, itu lama. Mudah-mudahan tahun depan sudah ada peta risiko bencana tersebut hingga tingkat provinsi,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Pusat Studi Bencana UGM, Prof. Dr. Junun Sartohadi, menjelaskan untuk dapat membuat peta risiko bencana tidaklah mudah. Metode yang digunakan dalam membuatnya justru mengalami ‘bencana’ pula karena banyak pihak yang berperan didalamnya sehingga sering tidak ada titik temu. “Tentu bisa saja semua pihak atau bidang yang terlibat ini punya kepentingan masing-masing kan? Untuk itu, maka peran Bakorsurtanal untuk mempeloporinya sangat diperlukan,†kata Junun.
Hampir senada dengan Junun, pengamat masalah bencana dari Fakultas Geografi UGM, Prof. Dr. Sutikno, mengatakan bencana yang terjadi akhir-akhir ini bukan saja menjadi bencana alam, tetapi sekaligus bencana lingkungan karena menyangkut manusia, sosial, dan lingkungan. Ada banyak dampak ikutan dengan terjadinya bencana yang selama ini belum diperhitungkan oleh masyarakat. Ia mencontohkan erupsi Merapi yang ternyata tidak dapat terlepas dari bahaya bencana alam lain, seperti banjir bandang, puting beliung, hingga kekeringan. “Untuk itu, yang diperlukan nantinya tentu juga menyangkut aspek lain, seperti aspek spasial, kapan akan terjadi bencana, serta karakter bencana itu,†katanya.
Diakui Sutikno, tidak mudah untuk menciptakan sebuah sistem informasi bencana di Indonesia dengan data lengkap dan akurat. Ia berharap agar selain memanfaatkan peta resiko bencana, masyarakat selayaknya selalu waspada bahwa bencana setiap saat mengancam dan dapat berulang. (Humas UGM/Satria AN)