Yogya, KU
Keluarga para pendiri organisasi Boedi Oetomo (BO) masih mencari jejak dua orang pendiri yang hingga kini belum diketahui keberadaannya, masing-masing dr Soewarno yang meninggal di Negeri Belanda dan Soewarno yang disebut-sebut berasal dari desa Kemiri. Untuk itu, masyarakat luas diharapkan memberikan informasi jika mengetahui jejak kedua tokoh tersebut.
Rekam jejak sejarah diperlukan untuk membuka beragam kisah yang masih belum terungkap seputar berdirinya organisasi modern pertama di zaman penjajahan itu.
“Soewarno yang meninggal di Belanda, jelas ada anak keturunannya. Sedangkan Soewarno lain, yang dari desa Kemiri, kita tidak tahu di mana makam dan anak keturunannya,” ujar anak menantu Soelaiman yang juga menjadi salah seorang pendiri BO, Ny. Larasati Suliantoro Soelaiman (74), kepada wartawan, di Kepatihan Yogyakarta, Rabu (14/5), menjelang peringatan Satu Abad Kebangkitan Nasional.
Dijelaskan pula, berdirinya BO sebagai organisasi diinisiasi oleh sembilan orang tokoh pendiri. Selain dr Soewarno dan Soewarno, tujuh pendiri lainnya dr Sutomo, M Soelaiman, Muhammad Shaleh, Goembrek, dr Angka, dr Soeradji Tirtonegoro serta Gunawan Mangunkusumo. Tujuh makam pendiri sudah ditemukan di Probolinggo, Surabaya, Ambarawa, Purworejo, Mlati-Yogyakarta, Dawuhan, Karanganyar dan Butuh.
“Soewarno yang dari Kemiri itu merupakan tokoh yang cukup penting karena dari arsip yang kami ketahui, beliau menjabat sebagai sekretaris pertama BO. Beliau pula yang berkeliling pulau Jawa mengkabarkan adanya Kongres pertama di Yogyakarta yang dihadiri 300 orang. Begitu besar jasanya, hingga kini kita belum tahu di mana makamnya,” ungkap Larasati yang sudah berumur 74 tahun ini.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, menjelang peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional, kondisi makam para pendiri yang disebutkan itu sangat tidak terawat. Bahkan di beberapa lokasi, pemerintah daerah juga tak mengadakan peringatan untuk mengenang tokoh penting yang membawa Indonesia menjadi negara modern seperti sekarang ini.
Larasati pun mengakui, dirinya baru mengetahui soal silsilah sebagai anak menantu dr Soelaiman pada 1985. Padahal, ia menikah dengan Suliantoro anak kelima Soelaiman pada 1958. Ketertutupan keluarga itu karena selama BO bergerak sebagai organisasi, selalu mendapat pengawasan ketat intelijen Belanda.
“Ada semacam perasaan trauma atas ketatnya pengawasan itu, mereka itu dibayangi terus, sapai Gunawan itu meninggalnya sangat muda sekali, saya tidak tahu sampai sekarang apa penyebab meninggalnya,” tandasnya.
Menurut Larasati, sembilan pendiri BO ini sangat akrab sekali. Hal tersebut pernah diutarakan oleh dr Angga kepada Larasati saat bertemu di rumah dr Sardjito (Rektor Pertama UGM).
“Beliau sempat bercerita tentang bapak mertua saya. Yang beliau ceritakan, persis seperti diceritakan di bukunya Sutomo. Peran dari sembilan orang ini, persis seperti satu gang, untuk membangun Budi Utomo,†katanya.
Larasati sempat meluruskan, Boedi Oetomo bukan didirikan oleh gerakan dokter-dokter namun dirikan oleh sekelompok mahasiswa yang sedang kuliah di STOVIA School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) atau Sekolah Kedokteran Pribumi merasa selama 20 tahun belum memiliki kontribusi buat bangsanya.
“Bukan gerakan dokter-dokter, tapi gerakan pemuda yang 20 tahunan tidak punya apa-apa. Bayangkan selama 20 tahun ora duwe opo-opo, masuk ke STOVIA saja karena beasiswa, †jelasnya.
Bambang Supriyanto (55), cucu menantu dr Soeradji Tirtonegoro menjelaskan, kini anak cucu keluarga pendiri BO bersama panitia 100 Tahun Kebangkitan Nasional akan mengenang dan mengingat kembali semangat kebangsaan yang dahulu pernah diperlihatkan para tokoh pendiri BO.
“Bangsa ini perlu mengingat dan mengambil semangat kebangsaan yang mereka wariskan, antara lain dengan menziarahi makam mereka,” katanya kemudian.
Di tempat yang sama, Ketua Panitia Peringatan Satu Abad Kebangkitan Nasional, Prof Dr Sutaryo SpA(K) menilai, kondisi Indonesia saat ini kembali lagi seperti pada jaman lampau di masa-masa kemerdekaan.
“Saat ini kondisi ekonomi dan sosial masyarakat serba sulit. Angka kemiskinan dan pengangguran juga masih tinggi. Persis seperti masa-masa sulit ketika itu,” ujarnya kemudian.
Kendati begitu, Sutaryo optimistik, kondisi semacam itu bisa diselesaikan asal bangsa ini mau dan mampu mengembangkan pendidikan serta kebudayaan sebagai ujung tombak pembangunan. “Jangan lupakan pula, semangat persatuan dan kesatuan yang juga merupakan unsur penting,” tandasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)