Dalam masyarakat Jawa, keris memiliki fungsi sosial sebagai penanda golongan, atau sekurang-kurangnya sebagai wakil dari pemiliknya. Sedemikian pentingnya keris sebagai representasi jati diri menjadikan keris dapat dihadirkan untuk mewakili sosok manusia yang tidak dapat hadir untuk berperan dalam peristiwa penting tertentu. Hal yang sering dipraktikkan adalah menghadirkan keris sebagai wakil pemiliknya dalam pernikahan.
Menurut staf pengajar FSRD Universitas Trisakti Drs. Khrisna Hutama, M.Hum struktur politik Jawa yang terpusat di Keraton membuat raja yang bertahta di kerajaan Jawa menjadi institusi utama pendukung budaya keris Jawa tradisional. Ditemukannya data-data tentang keris di dalam kepustakaan keraton menjadi bukti peran penting kerajaan sebagai institusi utama pendukung budaya keris. “Disamping itu catatan sejarah kerajaan Jawa kerap memunculkan budaya keris dalam kisahnya,” paparnya di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (6/12) saat melakukan ujian terbuka program doktor UGM.
Dalam ujiannya, Khrisna Hutama menerangkan secara garis besar keris Jawa dapat dibedakan dalam bentuk lurus dan berkelok. Perbedaan dua jenis bentuk keris tersebut memiliki konsekuensi penamaan bagian anatomi yang berbeda pula. Keris lurus memiliki empat bagian anatomi, yaitu pucukan sebagai bagian keris yang paling ujung, awak-awakan atau bagian tubuh, bangkekan sebagai bagian pinggang keris bila dipersonifikasikan seperti manusia, dan terakhir adalah sor-soran yaitu bagian yang terbawah dari bilah keris.
“Sementara keris berkelok hanya memiliki anatomi pucukan, luk dan sor-soran saja,” ujar suami Dra. Atika Ediyati, ayah dari Ganendra Pradhikara ini.
Sebagai produk budaya Keris tersusun atas unsur ideofak, sosiofak dan teknofak. Ide awal fungsi keris adalah untuk senjata tusuk yang pada mulanya dipergunakan dalam pertarungan jarak dekat. Sementara seiring perkembangan jaman bilah keris juga mendapat tambahan makna berturut-turut yang memperkaya gagasan pembuatan keris dalam kebudayaan Jawa.
Pamor keris, kata Khrisna diyakini sebagai simbol penyatuan mistik antara dua kondisi alam yang salin berlawanan, yaitu laki-laki dan perempuan, siang dan malam, panas dan dingin, atas dan bawah, serta mahluk dan Tuhannya. “Itu wujud nyata dari konsep lingga dan yoni, yang mewakili dua kutub berbeda atau rwa bhineda, yang merupakan simbol persatuan antara Hyang Syiwa dan istrinya, Dewi Parwati seperti terdapat dalam kepercayaan Hindu,” jelas staf ahli PT Narendra D.C tahun 1980-1990 ini.
Dalam desertasi “Keris Jawa Tradisional Di daerah Yogyakarta dan Surakarta, Kontinuitas dan Perubahannya”, Khrisna lebih lanjut menjelaskan pembuatan keris Jawa tradisional merupakan teknologi yang menghubungkan dimensi ide dan sosial yang terkandung dalam kebuayaan Jawa, dan ketiganya bersatu mewujudkan keris sebagai karya seni yang kompleks. Kesinambungan riwayat teknik pembuatan keris ini bergantung kepada para empu keraton. Di keraton Yogyakarta dan Surakarta sebagai pewaris terakhir kerajaan Jawa, teknik pembuatan keris Jawa tradisional ini melalui empat tahap pekerjaan, yaitu persiapan, penempaan dasar, penempaan rekayasa dan pekerjaan terakhir.
Selain sebagai benda budaya yang dikembangkan, keris dapat dilihat pula dari sudut pandang kesenirupaannya. Kesenirupaan keris tidak dapat dipisahkan dari keindahan yang dapat ditangkap dari bentuk wujud keris. “Ada suatu konsep penilaian bahwa keindahan klasik yang biasa dijadikan pedoman dalam budaya keris Yogyakarta, sekaligus menjadi dasar penilaian keris secara umum termasuk untuk menilai keris-keris dari tangguh selain tangguh Yogyakarta,” tandas Khrisna yang dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan, dan menjadi doktor ke-1310 yang diluluskan UGM. (Humas UGM/ Agung)