BULAKSUMUR – Di tengah situasi bencana, anak-anak merupakan kelompok rentan yang menjadi korban pertama dan paling menderita daripada orang dewasa. Mereka belum bisa menyelamatkan diri sendiri, sehingga peluang menjadi korban lebih besar. Bahkan, dalam keadaan darurat anak-anak sering terabaikan haknya, salah satunya adalah hak memperoleh pendidikan.
Hal itu disampaikan Konsultan Pendidikan Esti Fariah, M.Si., dalam diskusi ‘Keberlanjutan Pendidikan Pasca erupsi Merapi’, di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, baru-baru ini. Esti menerangkan, saat terjadi bencana erupsi merapi misalnya berbagai fasilitas pendidikan mengalami kerusakan, beberapa sekolah hancur.
“Kalaupun ada yang masih berdiri, tapi tidak bisa berfungsi secara layak karena tertutup debu yang sangat tebal. Tidak sedikit sekolah-sekolah menjadi tempat pengungsian,” ungkap alumni pascasarjana sosiologi pendidikan UGM ini.
Padahal, peserta didik merupakan individu yang memiliki akases atas kesempatan pendidikan yang berkualitas dan relevan. Sehingga perlu mendapatkan lingkungan belajar yang aman dan mendorong perlindungan dan kesejahteraan mental dan emosional. Karenanya, dalam keadaan darurat pun tetap diperlukan fasilitas pendidikan yang kondusif. Sehubungan dengan hal itu, penanganan bencana perlu dilakukan secara menyeluruh melibatkan
berbagai pihak. “Dengan sumber daya yang dimiliki diharapkan masyarakat turut menciptakan suasana kondusif bagi pendidikan anak selama maupun pasca bencana untuk menyediakan paket pendidikan dalam keadaan darurat,” paparnya.
Berbagai pihak, baik melalui pemerintah, swasta, masyarakat ataupun pihak lain bisa melakukannya dengan membuka kembali sekolah yang tutup akibat
bencana dan mengaktifkan kembali kegiatan belajar mengajar. Termasuk, penyediaan tempat atau sarana belajar sementara bagi sekolah yang rusak dan hancur.
Disamping itu, mengintegrasikan materi tanggap bencana ke dalam mata pelajaran guna memberikan pemaharaman secara content kepada siswa mengenai tanggap bencana. “Terpenting, membuat rencana aksi bersama masyarakat guna mengantisipasi dan memastikan proses pendidikan tetap berlangsung,” ungkapnya.
Di situasi tanggap darurat bencana, lebih difokuskan pada pengelolaan kelas dengan metode yang dimodifikasi dengan cara yang sesuai berbasis konteks kebencanaan. Salah satunya, merekrut tenaga penggajar yang memiliki wawasan pendidikan pasca bencana dan berkompeten dalam menyampaikan materi dalam suasana darurat. Tidak kalah penting, kemampuan mengelola administrasi bidang pendidikan yang terkait degan recana pembelajaran. (Humas UGM/Gusti Grehenson)