Masyarakat Indonesia sudah memiliki kemampuan toleransi yang mendalam. Meski belum sempurna, toleransi dalam masyarakat tersebut dinilai cukup baik dibandingkan dengan negara-negara lain. “Hal itu dibuktikan dengan banyaknya pulau, pelabuhan, dan kota perdagangan. Di daerah-daerah itu, orang sebenarnya tidak saling mengenal dan berbeda. Seperti di Malaka dan Aceh, itu sebenarnya kota internasional karena perdagangannya bukan kota tertutup yang fanatik,” ujar Prof. Dr. Franz Magnis Suseno dalam Workshop ‘Managing Multiculturalism: Complexities and Contradictions’, Selasa (7/12).
Dalam pandangan Magnis Suseno, toleransi tidak hanya sebagai budaya, tetapi merupakan keyakinan bahwa dalam agama tidak boleh ada paksaan. Dalam pergaulan semua diharapkan dapat saling menghormati satu dengan yang lain.
Meski melingkupi permasalahan yang kompleks, toleransi ini berkaitan dengan rasa tahu diri dan sikap tenggang rasa. Dalam pandangan staf pengajar STF Driyakara ini, toleransi terus mengalami tantangan. Tantangan-tantangan itu jika tidak ditangani oleh banyak pihak seakan-akan mencekik toleransi itu sendiri. Tantangan yang dimaksud, antara lain, suasana kompetisi yang sangat keras, terutama kondisi ekonomi yang dialami masyarakat berpendapatan rendah karena merekalah yang saling bersaing keras untuk bisa hidup dan maju.
Sementara di pihak lain, muncul ideologi-ideologi ekslusivisme. “Kebersamaan memang sebagai solusi. Namun, hal itu tidak sekadar diomongkan. Perlu banyak dipraktikkan. Banyaknya forum bisa menjembatani hubungan antaragama di Indonesia dan itu yang menjadikan semuanya lebih baik dibanding dulu, misalnya hubungan umat Kristiani dan Islam yang semakin bertambah dalam bertoleransi,” jelasnya di Batik Winotosastro Yogyakarta.
Oleh karena itu, nilai-nilai kearifan lokal, seperti dalam adat dan kebiasaan serta cara berbicara, menjadi faktor yang sangat penting. Hal-hal semacam itulah yang harus dimanfaatkan tidak hanya berdasar pada prinsip-prinsip seperti hak asasi manusia, tetapi kearifan lokal yang berada di tingkat akar rumput harus dibaca. “Dulu saya di Jogja empat tahun bisa mendapatkan peran rasa, olah rasa, tenggang rasa, dan saling menghormati sikap. Hal-hal semacam inilah yang akhirnya mendorong ke arah toleransi. Dulu memang ada, tapi sepertinya sekarang tidak diangkat. Zaman Pak Harto sudah ada, tapi kebijakannya justru berkebalikan,” tambah Magnis.
Dengan pengalaman sebagai rohaniwan, Frans Magnis Suseno menilai hubungan Islam dan Kristen dalam hal-hal tertentu saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan masa lampau. Bahkan, hubungan tersebut jauh lebih erat daripada 60 tahun lalu saat kedatangannya di Indonesia. “Enam puluh tahun yang lalu, seorang romo tidak kenal dengan seorang kyai dalam sebuah pondok pesantren. Sekarang, hubungan dengan NU dan Muhammadiyah jauh lebih erat karena bisa menepis yang negatif-negatif dan menumbuhkan kepercayaan meski permasalahan yang dihadapi sangat kompleks,” terangnya.
Selain Frans Magnis Suseno, workshop dalam rangkaian kegiatan World Conference on Culture, Education, and Science ini menampilkan beberapa pembicara lain, di antaranya Prof. Dr. Judith Schlehe (Jerman), Dr. Mulyadi, M.Si. (UNIPA, Manokwari), Ali Abdel Moneim, B.S., Dip., M.Si. (UII), Umar Hadi, Prof. Dr. Muchtar Ahmad (Universitas Riau), Prof. Santosa, Ph.D. (ISI Surakarta), Prof. Dr. Paul Morris (Director for Religious Studies at Victoria University of Wellington, New Zealand), Prof. Dr. P.M. Laksono (UGM), Dr. Jean Couteau (Perancis), Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A. (Universitas Hasanuddin, Makasar), dan Dr. Rimbawan (IPB, Bogor). (Humas UGM/ Agung)