YOGYAKARTA-Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan di era otonomi daerah mutlak diperlukan. Masyarakat dengan kearifan lokal yang dimiliki diharapkan dapat diberi wewenang dan dilibatkan dalam pengambilan kebijakan pembangunan. Dengan mengabaikan peran serta masyarakat, pembangunan tidak akan berjalan baik. “Bisa dilihat, kerusakan hutan yang terjadi saat ini, antara lain, karena semata-mata kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah banyak mengabaikan peran serta atau keterlibatan masyarakat setempat,†kata Prof. Dr. Mustofa Agung Sardjono dari Universitas Mulawarman ketika berbicara dalam workshop paralel rangkaian WISDOM 2010 di Ruang Pertemuan Candi Prambanan, Selasa (7/12).
Workshop ini mengangkat tema ‘Managing the Environment: Learning from the Past, Reaching for the Future’. Hadir pula sebagai pembicara dalam kesempatan tersebut, antara lain, Prof. Dr. Ni Nyoman Tri Puspaningsih (Universitas Airlangga), Dr. Soeryo Adiwibowo (IPB), Dr. Hilda Zulkifli (Universitas Sriwijaya), dan Erin Joakim (University of Waterloo).
Agung menambahkan masyarakat dapat terlibat jika ada wewenang dan akses bagi mereka. Banyaknya kerusakan sumber daya alam saat ini, seperti kerusakan hutan terutama di Pulau Jawa, merupakan bukti diabaikannya keterlibatan masyarakat dengan kearifan lokal yang dimiliki, apalagi kepemilikan hutan seratus persen sudah dikuasai oleh negara. “Masyarakat merupakan ujung tombak pembangunan di daerah. Jangan sampai di era otonomi daerah justru keterlibatannya diabaikan,†imbuh Agung.
Sementara itu, pembicara lain, Ni Nyoman Tri Puspaningsih, mengemukakan pemanfaatan limbah hasil panen dari masyarakat yang dapat digunakan. Ia mencontohkan pemanfaatan jerami, bongkol jagung, dan limbah kelapa sawit yang di dalamnya mengandung karbohidrat. Setelah didegradasi dan ditambahkan semacam enzim bioaktifator, berbagai limbah itu dapat dimanfaatkan, misalnya untuk pupuk dan pakan ternak. “Ada bongkol jagung, jerami, ataupun limbah kelapa sawit, itu bisa dimanfaatkan. Jangan kemudian serta merta dibakar, misalnya,†ujar Tri Puspaningsih.
Masih belum dijalankannya pemanfaatan berbagai limbah hasil panen ini, dalam pandangan Tri Puspaningsih, lebih banyak disebabkan karena minimnya tingkat pengetahuan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan. Pembakaran limbah hasil panen lebih banyak mendatangkan kerugian. Jika tidak dibatasi, hal itu akan meningkatkan emisi gas CO2 sehingga dapat menyumbang terjadinya efek pemanasan global. “Kebijakan itu tidak dilakukan masyarakat karena minimnya pengetahuan yang dimiliki mereka,†katanya.
Di sisi lain, Erin Joakim lebih banyak menyoroti tentang manajemen lingkungan dan kebencanaan yang diharapkan dapat melibatkan banyak pihak. Kerja sama untuk mengembangkan pengetahuan manajemen bencana dan lingkungan dapat dimulai dari riset. “Riset masalah manajemen bencana dan lingkungan tentu tidak bisa dilepaskan terhadap dampak sosial, kultural, ekonomi, hingga politik sekalipun,†kata Erin. (Humas UGM/Satria AN)