YOGYAKARTA-Desentralisasi pendidikan sebagaimana amanat dalam UU Nomor 32/2004 merupakan sebuah sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada kebhinnekaan. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 7 ayat (1), kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, fiskal/moneter, dan agama, serta kewenangan lain yang diatur secara khusus.
Selain itu, semuanya menjadi kewenangan daerah, termasuk di dalamnya bidang pendidikan. Tujuan pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Menurut Ketua Dewan Pendidikan Propinsi DIY, Prof. Wuryadi, satu hal yang tidak boleh dilupakan di dalam pelaksanaan otonomi pendidikan ialah jangan sampai menimbulkan sikap mementingkan kepentingan diri sendiri. Misalnya, antara sekolah yang satu dengan yang lain tidak saling berkoordinasi dan hanya mengedepankan kepentingan pribadinya. “ Tidak peduli dengan jalannya pendidikan di institusi lain. Ini yang berbahaya kalau kita tidak menyikapinya dengan bijaksana,†ujar Wuryadi ketika berbicara dalam Diskusi ‘Menggagas Pendidikan untuk Semua’ di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Rabu (8/12). Diskusi ini merupakan salah satu rangkaian acara ‘Festival Indonesia 100%’ yang digelar oleh BEM KM UGM.
Selain berbicara persoalan otonomi pendidikan, Wuryadi dalam kesempatan itu juga kembali mempertanyakan kebijakan pemerintah mengenai pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Pemerintah menetapkan siswa yang telah lulus UN-lah yang dapat masuk di bangku perguruan tinggi. Menurutnya, korelasi antara UN dengan prestasi akademik ketika menjadi mahasiswa sangatlah kecil. “Penelitian sudah dilakukan di IPB dan ITB. Justru korelasi yang besar adalah antara prestasi mahasiswa dengan nilai rapor selama studi,†imbuhnya.
Wuryadi juga kembali mengingatkan kebijakan UN yang pernah dilarang oleh Mahkamah Agung (MA) karena dinilai belum memenuhi nilai-nilai standar yang disyaratkan secara lengkap. Meskipun demikian, pemerintah sampai saat ini berketetapan akan terus melaksanakan UN. “Kurikulumnya memang berdasarkan kompetensi. Namun, ujian nasionalnya tidak sesuai kompetensi,†tambah Wuryadi.
Sementara itu, pengamat pendidikan, Eko Prasetyo, dalam kesempatan itu mengatakan pendidikan bukan saja dilihat dari hasilnya, melainkan juga dari proses yang dilalui. Pengetahuan yang diperoleh dari sebuah pendidikan setidaknya harus berdampak dari sisi historis, berimplikasi sosial, dan rekonstruksi sosial. “ Kalau itu tidak terjadi, maka tentu pendidikan tidak akan membuat kita matang secara emosi,†terang Eko.
Ironisnya, menurut Eko, lambat-laun pendidikan hanya menjadi sebuah ritual belaka, misalnya, ketika berlangsungnya orientasi mahasiswa baru (OPSPEK) di perguruan tinggi, KKN hingga wisuda. Jika pemerintah, DPR beserta masyarakat tidak segera duduk bersama mencari solusi pelaksanaan pendidikan yang bervisi kerakyatan, ditakutkan pragmatisme dan komersialisasi pendidikan akan terus berlangsung. (Humas UGM/Satria AN)