Perang dalam pertunjukan wayang kulit purwa merupakan salah satu bagian yang penting dan menarik di mata penikmat pertunjukan. Dalam pakeliran tradisi Yogyakarta, setidaknya terdapat tujuh kali adegan perangan dengan beragam karakteristik baik dalam istilah, keterikatan dengan pathet (waktu), maupun pola gerakannya.
Wisma Nugraha Christianto Rich, M.Hum., staf pengajar jurusan Sastra Nusantara FIB UGM, menyebutkan perang dalam pagelaran wayang kulit bisa ditafsirkan sebagai lukisan perjalanan emosi karena konflik individu yang berkembang ke pelibatan kelompok atau negara. Dalam peperangan, kekuatan fisik, siasat, startegi, senjata, ajian, transportasi, serta kekuatan jejaring turut dilibatkan.
“Perang secara garis besar memuat gambaran tentang perjalanan tingkat kecerdasan emosi, cara berfikir dan bertindak,†terangnya dalam seminar “Perang Kembang: Persepsi dan Interpretasi dalam Budaya Jawa†yang digelar Jurusan Sastra Nusantara di Auditorium FIB UGM, Sabtu (11/12).
Selain hal tersebut, lanjut Wisma Nugraha, perang juga menggambarkan kemampuan berkomunikasi, penguasaan ilum pengetahuan-teknologi, dan membangun jejaring sosial-politik. “Perang juga menggambarkan tingkat kedewasaan dan kematangan kepribadian dengan cara pertemuan ego dengan the otherâ€, jelasnya.
Ditambahkan Wisma Nugraha, perang kembang dalam pewayangan merupakan simbol pergulatan dan perjuangan manusia dalam melawan nafsu jahat dalam diri manusia. Perang kembang yang terpapar dalam tradisi pewayangan Yogyakarta menggambarkan perselisihan yang berlangsung dalam ruang ruang yang tertata (pathet nem). Proses seseorang menghadapi krisis dalam berelasi dengan orang lain telah digambarkan dan dinyatakan sejak dini dalam tradisi ini sehingga harus direspon dengan cepat. Dengan demikian saat seseoarang memasuki pola relasi yang bersifat multikultural dan multi etnis, diharapkan mampu merespon dengan cepat dan cerdas.
Sementara dalam perang kembang tradisi Surakarta menghadirkan gambaran perselisihan , pertengkaran, dan perkelahianm antara seorang satria yang telah menguasai beberapa skil dan ilmu pemgetahuan dengan tokoh buta. Perang kembang Surakarta secara tegas menyatakan terjadinya arena laga seseoran yang sedang berkembang perkembangan fisik dan ilmu pengetahuan dengan beberapa buta dari dunia liar yang memiliki tradisi budaya yang sama sekali berbeda dengan satria. “Dalam perjumpaan dua tradisi dapat dicermati adanya perbedaan bahasa yang menghambat komunikasi dan interaksi positif antar individu,†paparnya.
R. Bima Slamet Raharja, S.S., M.A., staf pengajar Jurusan Sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, mengungkapkan perang begal/ perang kembang, dalam pakeliran tardisi Surakarta memiliki karakteristik gerak sabetan serta makna yang bisa ditafsirkan secara beragam dalam kehidupan manusia. Kehadiran raksasa Cakil dan kelompokknya yang bermaksud menggoda kesatria dalam laku perjalanannya dapat diinterpretasikan sebagai pertempuran batin “putih†yang diapresiasi sebagai kebaikan dan “hitam†yang diapresiasi sebagai keburukan, yang berkecamuk dalam diri manusia.
“Oleh karenanya, seperti memahami dunia simbol, maka perang begal pun dilambangkan dengan babak kedewasaan bagi seorang manusia dalam melangkah ke kehidupan ini dengan beragam godaan dan ujan (driganta) yang dihadapinya,†urainya.
Pertentangan antar keinginan, tambah Slamet Raharja, berpadu sampai pada sebuah harapan bahwa manusia harus bisa memenangkan nafsu-nafsu yang melingkupinya. Lelaku manusia ini tidak terlepas atas konsep boja, karma, dan pati yang ditentukan oleh Tuhannya.
Suwardi Endraswara, M.Hum, staf pengajar FBS UNY memaparkan dalam perang kembang selalu muncul gerak-gerak unik. Hal tersebut seperti, seorang satria berkata: krasa tangan, kramasi epek-epek. Dengan nada tinggi, kalau satria sudah tersinggung juga akan mengeluarkan murkanya. (Humas UGM/Ika)