YOGYAKARTA – Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri, rentan terhadap tindak kekerasan, baik fisik maupun mental. Berkaitan dengan kondisi ini, Pusat Studi Wanita (PSW) UGM bekerja sama dengan Majelis Guru Besar (MGB) berencana menggelar workshop menyikapi kondisi TKW di luar negeri pada 29 Desember 2010. Hasil workshop akan direkomendasikan kepada pemerintah untuk menjadi masukan kebijakan pengiriman TKW pada masa mendatang.
Demikian dikemukakan oleh Kepala Pusat Studi Wanita (PSW), Dra. Djoharwinarlien, S.U., kepada wartawan di kantor PSW UGM, Senin ( 13/12). Didampingi oleh panitia workshop, Prof. Dr. Agustinus Supriyanto, dan staf peneliti PSW, Dra. Sudarwati.
Winarlien menyampaikan PSW UGM sebagai pusat studi yang mempunyai kepedulian terhadap perempuan dan perlindungan anak memberikan perhatian serius terhadap permasalahan yang dihadapi oleh TKI perempuan. “Dari hari ke hari, kondisi TKW kita sangat menyedihkan, mulai dari disiksa, dilecehkan, hingga terakhir ini ada yang tinggal di bawah kolong jembatan,” kata Winarlien.
Hasil rekomendasi workshop, menurut Winarlien, memberikan penekanan kepada pemerintah untuk melakukan langkah tegas dalam program pengiriman dan perlindungan tenaga kerja wanita ke luar negeri agar tidak lagi mendapat perlakuan/tindak kekerasan fisik dan mental pada masa mendatang. Selain melaksanakan workshop, PSW UGM merencanakan pada 2011 akan melakukan penelitian terhadap kondisi TKW di luar negeri.
Menjawab pertanyaan wartawan sehubungan dengan langkah pemerintah untuk menyediakan telepon genggam bagi para TKI, dengan tegas Agustinus Supriyanto mengatakan langkah tersebut tidak efektif. Manurutnya, pemerintah terlalu reaktif dalam menyikapi keadaan setelah bermunculan berbagai kasus yang menimpa para TKI. “Jangankan telepon genggam, untuk paspor milik TKI saja ditahan oleh sang majikan,” imbuh pakar hukum internasional UGM ini.
Yang terpenting dilakukan pemerintah saat ini, kata Agustinus, yakni memperbaiki proses program pengiriman TKW ke luar negeri secara terencana, mulai dari tahap seleksi, pelatihan, pra pemberangkatan, proses pemberangkatan, penempatan di luar negeri, pengurusan kepulangan TKW, hingga pasca kepulangan. “Sebaiknya, pemerintah melakukannya by design, dari proses seleksi hingga pasca kepulangan,” katanya.
Staf pengajar Fakultas Hukum UGM ini juga menyayangkan posisi tawar pemerintah dalam pengiriman TKW yang dinilai cukup lemah. Hal itu disebabkan pengiriman TKW didasarkan atas kebutuhan untuk mendapatkan pekerjaan di negara lain, bukan atas kebutuhan atau permintaan dari negara yang membutuhkan. “Lagipula pemerintah sendiri kurang punya good will terhadap perlindungan TKW,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)