MAGELANG – Ngatini, 33 tahun, tetap bersemangat membersihkan sisa-sisa pasir abu vulkanik di sekitar pos pengamatan merapi di Babadan, Magelang. Sudah empat hari ini, ia bisa beraktivitas kembali, setelah status Merapi diturunkan jadi siaga. Namun begitu, tempat yang sering dikunjungi wisatawan untuk menyaksikan panorama merapi masih tampak lengang. Meski sudah ada satu dua orang datang berkunjung sekedar ingin melihat kondisi terkini Merapi. Karena cuaca mendung, puncak merapi pun masih tertutup awan. Mereka pun tidak lama berada di pos. Pulang, sebelum hujan deras datang.
Umumnya, setiap pengunjung yang datang bisa mendatangkan rejeki bagi Ngatini. Dari mereka, ia bisa mendapatkan uang dari hasil menjual mie instan, makanan dan minuman ringan yang tersedia di warung mungil miliknya. Tapi tidak saat ini. Ngatini tidak lagi memiliki satu pun barang dagangan di warung yang sudah berdiri 9 tahun. Yang tersisa hanya dua botol minuman air mineral.
Bukan karena sudah laku dijual, tapi semua barang dagangan ludes dibawa lari pencuri. Kejadian itu persis saat dirinya bersama penjaga pos babadan berlari menyelamatkan diri saat terjadi erupsi merapi akhir oktober lalu. Maklum, warungnya hanya 4 KM dari puncak Merapi
Ngatini pun bersikap tegar menghadapi semua itu. Warung berukuran 3×3 meter yang berdinding gedek itu menjadi sumber penghasilan sehari-harinya untuk menghidupi dua orang anaknya. Setidaknya, tiap hari ia mendapatkan uang Rp 30- Rp 40 ribu dari orang-orang yang belanja. “Kalo warung lagi sepi, saya ambil rumput untuk makan sapi,” ujarnya, seraya menjelaskan satu ekor sapi itu hasil titipan orang lain.
Ngatini juga memiliki sebidang lahan tanaman cabe dan kembang kol di sekitar lereng merapi. Namun kini, tanaman di kebunnya sudah hangus terbakar terkena awan panas. Dari kembang kol, tiap minggu ia bisa mendapatkan tambahan uang Rp 50 ribu.
“Saya kini tidak punya apa-apa lagi, saya harus mulai dari nol lagi,” ucapnya lirih sambil membersihkan sekop-sekop setelah kerja bakti membersihkan lingkungan pos pengamatan merapi babadan.
Tidak berbeda dengan yang alami oleh Sabar, 40 tahun. Pria yang biasa jadi tukang parkir di pos babadan ini mengaku baru bisa beraktivitas kembali setelah hampir satu bulan tinggal di pos pengungsian. Sebelum erupsi, ia biasanya jadi pemandu bagi para pendaki untuk menuju puncak merapi. Tapi kini, dia hanya bersama 4 orang temannya menjadi tukang parkir. Sesuai dengan namanya, Sabar pun kini harus bersabar, menunggu Merapi normal kembali agar pekerjaannya yang dilakoninya bisa dilakukan lagi. Tapi, waktu terus berjalan, Ngatini dan Sabar pun harus memutar otak bagaimana aktivitas ekonomi mereka terus berjalan. Meski untuk kebutuhan makan pun, masih cukup sulit. Mereka pun dijatah beras 5 kilo gram per minggu oleh perangkat desa di dusun Babadan I. (Humas UGM/Gusti Grehenson)