YOGYAKARTA- Suatu bangsa yang sedang berproses menuju ke kehidupan modern memerlukan dukungan masyarakat yang dapat menerima, meresapi, dan mengintegrasikan nilai-nilai baru. Nilai-nilai baru tersebut adalah nilai-nilai yang menekankan rasionalitas, efisiensi, kebebasan, demokrasi, dan keterbukaan.
Para perintis kemerdekaan Indonesia telah memilih strategi transformasi budaya untuk menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang kuat dan modern. Transformasi budaya mengenal dua jalur, yaitu melalui metode dialog budaya dan perubahan status masyarakat.
“ Bangsa Indonesia yang modern adalah bangsa yang menekankan rasionalitas, efisiensi, kebebasan, demokrasi, dan keterbukaan, tetapi tetap didasari dan dijiwai nilai-nilai kepribadian Indonesia,†papar dosen Fakultas Filsafat UGM, Dr Sri Soeprapto, dalam Seminar Nasional Eksplorasi Filsafat Nusantara Kontribusi Pemikiran Perguruan Tinggi Bagi Pembangunan Daerah, di Auditorium Lantai 3 Fakultas Filsafat UGM, Selasa (14/12). Acara seminar ini dibuka langsung oleh Rektor UGM Prof Ir Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D.
Soeprapto mengatakan bahwa kesatuan-kesatuan budaya-budaya daerah menjadi kebudayaan nasional perlu diperhatikan untuk mengerti makna unsur-unsur dan fungsi faktor-faktornya. Proses integrasi kebudayaan perlu diwujudkan dengan memandang struktur kebudayaan nasional dalam kombinasi statis-dinamis. “ Rekonstruksi dinamis dapat dilakukan pada unsur-unsur wujud budaya yang khusus dan konkret, tetapi sintesisnya tetap berpangkal pada suatu struktur yang umum, abstrak, dan teoritis,†imbuhnya.
Dengan demikian, nilai-nilai luhur daerah diharapkan mampu menemukan bentuk sintesis dengan melakukan adaptasi, integrasi, mempertahankan sistem, dan mengarahkan kehidupan bangsa. Pemikiran secara projektif diperlukan agar kesatuan sistem nilai-nilai ini dapat memberi orientasi teleologis menuju perkembangan masyarakat Indonesia modern.
“ Orientasi teleologis ini tidak hanya untuk memantapkan integrasi nasional saja, tetapi juga untuk menentukan kepribadian nasional yang tidak ekslusif tetapi mengait kepada nilai-nilai universal,†tegas Soeprapto.
Pembicara lain, Bupati Jepara Drs.Hendro Matojo, M.M., menambahkan pemanfaatan kearifan lokal menjadi sebuah alat untuk meningkatkan pembangunan memang sedang dilirik sebagai model pembangunan yang cocok bagi Indonesia, termasuk Kabupaten Jepara. Kearifan lokal merupakan modal utama masyarakat dalam membangun dirinya tanpa merusak tatanan sosial yang adaptif dengan lingkungan alam sekitarnya.
Kearifan lokal dibangun dari nilai-nilai sosial yang dijunjung dalam struktur sosial masyarakat sendiri dan memiliki fungsi sebagai pedoman, pengontrol, dan rambu-rambu untuk berperilaku dalam berbagai dimensi kehidupan baik saat berhubungan dengan sesama maupun dengan alam.
“ Secara garis besar, kearifan lokal masyarakat Jepara dapat dikategorikan menjadi tiga besar, yaitu seni tradisi dan budaya; sejarah, dan cara hidup masyarakat,†papar Hendro.
Kearifan lokal memang dipandang sebagai salah satu strategi dalam pembangunan berkelanjutan. Dikarenakan masyarakat dapat mengetahui lebih jauh apa yang harus dilakukan dan dibutuhkan dalam melakukan kegiatan pembangunan sesuai dengan potensi yang dimiliki daerahnya.
Di sisi lain, dosen Sastra Nusantara, Drs Manu J.Seputra dalam kesempatan itu lebih banyak membahas makna Nusantara sebagai lapangan studi Filologi dan Filsafat. Studi ilmiah genre sastra dalam kesusasteraan di wilayah kultural Nusantara, merupakan satu di antara tugas-tugas, yang mendesak dalam lapangan studi ini, bukan hanya sebagai hobi yang mutakhir, tetapi menjadi sebuah sarana untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang kesusasteraan pada umumnya, sebagai elemen dalam budaya dan masyarakat di wilayah kultural Nusantara, dan sebagai perangkat untuk meningkatkan pemahaman teks-teks individual (Humas UGM/Satria AN)