Hingga saat ini kawasan hutan negara di Gunungkidul dinilai masih belum mantap, baik secara de jure maupun de facto. Kondisi ini berakibat masih belum optimalnya penguasaan negara atas kawasan hutan di Gunungkidul.
Menurut Ir. Ayu Dewi Utari, M.Si pengelolaan hutan negara di Gunungkidul menghadapi banyak kendala dan masalah. Disamping sejak tahun 1952 tidak pernah tersusun rencana pengelolaan hutan DIY secara detail per petak, di kawasan ini juga tidak pernah melaksanakan standar sistim kontrol atas pengelolaan hutan yang mengacu sistim silvikultur pengelolaan hutan yang benar. “Pola tanam di kawasan hutan ini bersifat forester centris, bahwa hasil kayu menjadi hasil utama,” ujar Kepala BPDAS pada BPDAS Solo, Kementerian Kehutanan, Rabu (15/12) saat ujian terbuka program Doktor Ilmu Kehutanan UGM.
Meski begitu, kata Ayu Dewi, pengelolaan hutan rakyat di kawasan ini dinilai berhasil. Selain didukung pembangunan hutan rakyat yang bersifat luwes dan menyesuaikan dengan kemampuan masyarakat, keberhasilan ini juga dikarenakan sistim kontrol pengelolaan tanaman berjalan secara efektif dan efisien. “Pola tanam agroforestry, sementara perkembangan hutan rakyat ini bisa terjadi juga disebabkan dampak dari pelaksanaan program penghijauan,” katanya.
Dalam desertasi “Strategi Pengelolaan Hutan Negara Berbasis Keberhasilan Pengelolaan Hutan Rakyat di Provinsi DIY, studi kasus Kabupaten Gunungkidul”, promovenda mengusulkan strategi yang direkomendasikan dalam pengelolaan hutan Negara di DIY adalah dengan melakukan pengelolaan hutan berbasis kehutanan sosial, serta melakukan pengelolaan hutan produksi dengan mempertimbangkan luasan optimal hasil analisa LP secara polikultur. Selain itu bisa pula dengan melakukan pengelolaan kawasan sesuai fungsinya untuk mendukung potensi DIY sebagai daerah wisata.
Sebagai birokrat Ayu Dewi melihat pengelolaan hutan di Gunungkidul selama ini tidak mendasarkan pada kajian ekologis. Pengelolaan dilakukan dengan berpatokan pada tanaman yang sudah ada, seperti tanaman jati, kayu putih dan akasia. Oleh karena itu untuk memperbaiki pengelolaan hutan di Gunungkidul diharapkan lebih mengoptimalkan berbagai jenis tanaman yang ada. “Hal itu tentu akan lebih berhasil bila dilakukan bersamaan dengan penataan tata ruang dan dilakukan pengelolaan dengan berjenis tanaman. Terlebih di daerah Panggang Gunungkidul diharuskan tanaman yang sesuai,” ungkap perempuan kelahiran Sukoharjo, 22 Mei 1969 ini.
Oleh karena itu kedepan untuk perencanaan pengelolaan hutan sudah seharusnya dilakukan secara rutin tiap 5-10 tahun. Program tersebut disusun secara terinci per petak berdasarkan kesesuaian ekologi dengan mempertimbangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. (Humas UGM/ Agung)