OGYAKARTA – Sebanyak 11 Perguruan Tinggi meliputi UGM, Universitas Brawijaya, Universitas Udayana, Politeknik Industri Tanah Laut, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Bengkulu dan Universitas lampung mendeklarasikan terbentuknya Asosiasi Profesi Teknologi Agroindustri (APTA), Kamis (16/12), di kampus Fakultas Teknologi Pertanian UGM.
APTA merupakan asosiasi profesi yang menitikberatkan disiplin keilmuan teknologi industri pertanian (teknologi agroindustri) yang berpedoman pada aspek keteknikan, rekayasa, sistem, manajemen dan analisis finansial bertujuan agar agroindustrti dapat mencapai efisiensi dan efektivitas yang optimal.
Kepada wartawan, Ketua APTA, Prof. Dr. Ir. Moch. Maksum, M.Sc., mengatakan APTA diharapakan berperan dalam pengembangan riset dan teknologi serta penghiliran terwujudnya suatu jaringan berbasis kepedulian terhadap berabagi macam tantangan yang dihadapi leh sektor agroindustri. Sebagai saran penghiliran hasil-hasil aplikatif dan fasilitasi jaringan berbasis kepedulian.
“Pendirian APTA berangkat dari lemahnya daya saing agro industri nasional. Saat ini produksi pertanian lebih banyak mengekspor dalam bentuk bahan mentah (biomaterial), bukan dalam bentuk barang jadi,” kata pengamat ekonomi pertanian ini.
Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM ini mengemukakan bahwa sebagai suatu subsistem agribisnis, agroindustri memiliki potensi yang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan masyarakat, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta mempercepat pembangunan daerah. Menurut Maksum, lemahnya daya saing agroindustri disebabkan tidak adanya kebijakan insentif dari pemerintah dalam melindungi pelaku usaha bidang agro insutri. “Kurangnya insentif dari pemerintah menyebabkan daya saing industri pertanian kita menurun,” ujarnya.
Ia mencontohkan, kebijakan berbeda dilakukan Negara lain untuk mendukung agroindustri. China misalnya, melindungi pelaku usaha mereka dengan mematok bunga pinjaman bank hanya sebesar 4 persen selama setahun. “Sementara di Negara kita, bunganya mencapai belasan persen,” ungkapnya.
Lemahnya perhatian terhadap agro industri menyebabkan produk industri bidang pertanian selama puluhan tahun berjalan di tempat. Kalau pun ada peningkatan, hanya pada jumlah produk bahan mentah yang dijual. “Kalo kita ekspor kakao, maka Negara lain akan mengimpor coklat. Kita kirim karet, nanti sudah dikirim dalam bentuk roda mobil,” ujarnya.
Ia juga menyayangkan, kebijakan pemerintah pusat yang selalu menentukan harga produk pangan dengan alasan stabilitas harga pangan. Padahal kebijakan harga tersebut menurutnya justru tidak menguntungkan bagi para petani. “Jangan harap, kapan petani kita kan sejahtera,” ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, pengamat agroindustri dari Universitas Brawijaya, Amal Santoso menegaskan jika pemerintah serius membenahi sektor agroindustri dipastikan mampu mendorong perekonomiuan nasional. Ia pun mengharapkan seluruh pemangku kepentingan dari kalangan perguruan tinggi, industri dan perbankan berkomitmen memajukan sektor agroindustri. “Saatnya seluruh stakeholder untuk kerjasama membangunagroindustri,” katanya.
Deklarasi APTA dilaksanakan bersaman dengan Seminar ‘Reorientasi Kelembagaan dan Keilmuan Bidang Ilmu Teknologi Pertanian di Indonesia Menuju Era Global’. Dalam seminar ini menghadirkan Kabulog Ir. Sutarto Alimoeso dan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementan RI Prof. Dr. Ir. Zaenal Bacharudin, M.Sc. (Humas UGM/Gusti Grehenson)