YOGYAKARTA – Ketua Umum Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama), Sri Sultan HB X, mengatakan demokrasi yang berlangsung lebih dari satu dasawarsa di Indonesia baru sebatas demokrasi prosedural, belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Ternyata, nasib rakyat kecil belum juga bertambah baik. Padahal, bagi mereka kesejahteraan lebih penting dari segalanya, termasuk demokrasi dan segala aturannya,” kata Sri Sultan saat menyampaikan sambutan dalam acara Seminar Nasional “Jalan menuju Kesejahteraan: Persembahan Kagama untuk Indonesia”, di Grha Sabha Pramana, Jumat (17/12).
Dalam kehidupan demokrasi yang otentik, suara rakyat ditempatkan pada posisi tertinggi. Celakanya, sekarang ini ideologi kerakyatan itu berubah menjadi adagium baru: ‘politik uang, suara rakyat adalah suara uang’. “Setiap proses politik nyaris selalu ditransaksikan dalam bentuk uang sehingga demokrasi mengalami distorsi yang luar biasa di mana substansi demokrasi ‘dari, oleh dan untuk rakyat’ tidak pernah terwujud dalam praktik politik di Indonesia,” ujar Sultan.
Ditambahkannya bahwa pada umumnya di negara yang memiliki jumlah penduduk miskin cukup banyak dan institusi sosial politik yang masih lemah, demokrasi gampang dimanipulasi oleh elit-elit politik oportunis parlemen dan pemimpin despotik yang menawarkan janji-janji populis agar dapat dipilih di parlemen atau eksekutif. Namun, setelah terpilih mereka hanya memperluas kekuasaan, mencari rente ekonomi, dan meninggalkan rakyat tetap dalam kemiskinan. “Kekuasaan dijadikan sebagai “mesin pencetak uang” untuk membeli suara sehingga proses manipulasi demokrasi yang berlangsung siklikal mengikuti kalender pemilu lima tahunan,” kata alumnus Fakultas Hukum UGM ini.
Sultan menjelaskan demokrasi di mana pun adalah suatu proses. Ia bukan sesuatu yang given for granted, tak terkecuali di Indonesia. Namun demikian, demokrasi bukanlah tujuan. Demokrasi hanyalah cara, tujuannya adalah kesejahteraan rakyat. “Di negeri ini, demokrasi politik masih butuh waktu panjang, terlebih jika dikaitkan dengan tingkat kejahteraan bangsa. Kita masih perlu banyak belajar dan memperbaiki banyak hal untuk bisa mewujudkan demokrasi sebagai jembatan mencapai kesejahteraan,” kata Sri Sultan.
Menurut Sultan, usaha yang perlu diperjuangkan saat ini untuk mewujudkan demokasi yang dapat memenuhi syarat-syaratnya ialah penegakan hukum dan berkeadilan secara nyata serta memperbaiki kehidupan kepartaian dengan menampilkan politisi yang berakarakter, berbudaya, bertanggung jawab, dan punya rasa malu.
Rektor UGM, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D., dalam sambutannya saat membuka seminar yang dilaksanakan oleh Kagama ini menuturkan sejak awal berdirinya UGM selalu menanamkan nilai-nilai kegadjahmadaan kepada alumninya, yakni Pancasila dan keilmuan. “Dalam mempertanggungjawabkan ilmunya, dalam rangka untuk kepentingan keadaban, kemanfaatan, dan kebahagiaan masyarakat,” kata Sudjarwadi.
Sudjarwadi menjelaskan alumni UGM telah berkiprah di berbagai bidang dan telah memberikan prestasi kerja baik di masyarakat. Untuk mereka yang beprestasi, UGM akan memberikan penghargaan dalam berbagai kategori, di antaranya bidang budaya dan seni, generasi muda, jurnalisme dan media, pendidikan, kewirausahaan dan bisnis, pelopor pendidikan, dan pembangunan ekonomi.
Sementara itu, Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A(K)., yang bertindak selaku ketua seminar, menyebutkan anggota Kagama saat ini mencapai lebih dari 212 ribu orang. Di antara mereka, yang bergelar doktor mencapai lebih dari 2.000 orang, sedangkan guru besar sebanyak 500 orang. “Mereka ada yang jadi wapres, DPR, lurah, walikota, masih banyak lagi,” kata Sutaryo. (Humas UGM/Gusti Grehenson)