Pemikiran-pemikiran UGM telah diakui menawarkan solusi berbasis sinergi ilmu pengetahuan mutakhir berpadu dengan kearifan lokal atas berbagai masalah bangsa dan kemanusiaan. Tradisi ini diwujudkan melalui pengembangan ilmu yang tetap memegang teguh nilai-nilai kegadjahmadaan dan berorientasi kuat pada kepentingan rakyat, multikulturalisme, dan wawasan belajar sepanjang hayat (lifelong learning).
Demikian disampaikan Rektor UGM, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D., di Grha Sabha Pramana, Minggu (19/12), saat berlangsung puncak Dies Natalis ke-61 UGM. Menyampaikan laporan kegiatan tahun 2010, Rektor mengatakan untuk mendukung pelestarian tradisi kuat ini, UGM melakukan penataan dan pengembangan infrastruktur fisik lingkungan kampus dengan mewujudkan UGM sebagai kampus educopolis, program kebijakan yang mengamanatkan sebuah lingkungan yang kondusif untuk proses pembelajaran dalam konteks pengembangan kolaborasi multidisiplin dan tanggap terhadap keamanan dan kenyamanan lingkungan.
Berbagai program pun dilakukan, antara lain, pengurangan polusi dan emisi gas buang kendaraan bermotor, pengembangan jalur pejalan kaki (pedestrian), pembatasan kendaraan bermotor masuk kampus, pembangunan kantong parkir, dan pengembangan sistem transportasi kampus yang terintegrasi dengan sistem transportasi daerah. “Selain itu, melakukan pula tanam pohon-pohon penghijauan, pengadaan sepeda kampus, relokasi pedagang kaki lima ke tempat-tempat khusus, pengelolaan sampah dan penyediaan kemudahan bagi warga yang difabel (different ability),” jelasnya.
Hingga usia ke-61, UGM tidak hanya memiliki kualitas keilmuan yang tinggi, tetapi sekaligus mencatatkan diri sebagai perguruan tinggi yang memiliki jumlah warga terbesar di Indonesia. Sebanyak 68.000 orang yang dimiliki terdiri atas tenaga kependidikan PNS dan non-PNS. Kampus ini juga memiliki 18 fakultas, 1 sekolah pascasarjana, dan 1 sekolah vokasi dengan menyelenggarakan 247 program studi.
Dalam kesempatan ini, Rektor juga menyampaikan berbagai peningkatan di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Di bidang pendidikan ini, UGM telah mengembangkan paradigma pembelajaran yang merupakan peningkatan dari Student-Centerd Learning (SCL). Keberhasilan SCL ini pun ditingkatkan menjadi paradigma baru disebut STAR (Student-Teacher Aesthetic Role Sharing), yang secara khusus dikembangkan berbasis budaya Indonesia.
Sementara itu, Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D., dalam orasi ilmiah mengatakan bencana alam menjadi semacam titik kritis percabangan, di satu sisi membawa kehancuran dan di sisi lain membuka peluang untuk perbaikan, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi lompatan kemajuan sebuah bangsa.
Menyampaikan orasi ilmiah “Bencana Alam sebagai Momentum Revitalisasi Ketangguhan Bangsa”, Prof. Nizam mengatakan ketangguhan sebuah bangsa terdiri atas ketangguhan perorangan yang terintegrasi dalam sebuah ketangguhan kolektif masyarakatnya sehingga dalam setiap kali terjadi bencana alam, proses tanggap darurat dan pemulihan selalu menunjukkan betapa rasa kemanusiaan dan kebangsaan memicu persatuan seluruh komponen bangsa. “Maka lahirlah solidaritas, kepedulian sosial, kasih sayang, dan pengorbanan untuk sesama,” katanya.
Semangat kolektif untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah secara bersama tanpa menonjolkan pamrih pribadi inilah yang menggambarkan semangat kesukarelaan (volunteerism) dalam diri. Secara kolektif, hal tersebut menjadi modal ketangguhan sosial yang sangat besar dan harus terus dijaga selama proses pemulihan pascabencana.
Belajar dari bencana, menurut Nizam, dapat menjadi momentum pembelajaran untuk membangun ketangguhan menghadapi arus globalisasi, liberalisasi, dan persaingan usaha yang semakin ganas, serta berbagai krisis yang dapat muncul setiap saat. “Meskipun dalam manifestasi yang berbeda, namun banyak analogi yang bisa diambil,” lanjut Guru Besar Fakultas Teknik UGM ini.
Ditambahkannya bahwa perubahan drastis dalam sistem sosial, politik, dan ekonomi di suatu negara dapat dengan cepat melanda Indonesia. Krisis moneter dan ekonomi yang terjadi di belahan dunia lain dapat berimbas krisis serupa di Indonesia. Krisis semacam ini ibarat bencana alam, dapat menghancurkan kapasitas masyarakat jika mereka tidak memiliki ketangguhan sosial, politik, dan ekonomi yang andal. Oleh karena itu, kapasitas mengelola bencana alam dengan membangun ketangguhan di segala bidang diharapkan menjadi pondasi kuat dalam menghadapi krisis. “Karenanya loncatan kemajuan pascabencana untuk mampu mengelola berbagai macam krisis inilah yang perlu kita bangun,” tuturnya.
Di samping Gubernur DIY, tampak hadir pula dalam Upacara Dies Natalis UGM kali ini, para pimpinan MWA, SA, MGB, dan Dewan Audit UGM, juga para pimpinan universitas dan fakultas, pejabat sipil dan militer. Juga para mahasiswa dan tenaga kependidikan serta yang teristimewa para relawan Merapi. (Humas UGM/ Agung)