Yogya, KU
Menjadi ironi terbesar di negeri ini, jika penangkapan dan pengeboman ikan secara ilegal saja diadili lewat pengadilan khusus yang disebut pengadilan illegal Fishing, sedangkan para koruptor yang mencuri uang rakyat belum juga mempunyai pengadilan khusus, akibatnya banyak perkara kasus korupsi yang divonis bebas oleh pengadilan umum sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor.
Demikian yang diungkapkan peneliti kajian anti korupsi UGM Zainal Arifin Mochtar, SH., LLM kepada wartawan dalam acara sosialisasi diksusi ‘Urgensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi’, Rabu (21/11) di kantor Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM.
“Kita mendesak segera dibentuk pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyusul makin dekatnya batas waktu berlakukan putusan Mahkamah Konstitusi soal adanya dualisme pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan umum dan pengadilan tipikor yang bertentangan dengan UUD 1945,†ujarnya.
Menurut Zainal, batas waktu tiga tahun sejak putusan MK keluar 19 Desember 2006 hampir terlewati, hingga sekarang proses RUU Pengadilan Tipikor belum ada tanda-tanda kepastian, dirinya khawatir sudah 1/3 waktu terlewati RUU ini belum juga disahkan.
“Jika sampai batas waktu peradilan Tipikor tidak juga terbentuk, maka ini merupakan kemunduran besar dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,†katanya.
Seperti diketahui, pada 19 Desember 2006 MK mengeluarkan keputusan mengenai judicial review UU N030/2002 tentang KPK yang telah menyatakan bahwa dualisme peradilan tindak pidana korupsi di Indonesia bertentangan dengan UUD 1945.
Diakui Zainal, adanya dualisme penanganan korupsi ini mengakibatkan belum efektifnya penegakan hukum. Padahal, sejauh ini pengadilan negeri kurang berhasil memberikan efek jera bagi koruptor. Buktinya masih banyak perkara korupsi yang divonis bebas. Sementara itu, pengadilan tipikor tak satu pun membebaskan koruptor dari ancaman hukuman.
“Hal ini merupakan bukti keseriusan para hakim pengadilan tipikor dalam memberantas korupsi,†imbuhnya.’
Saat ini, terang zainal, ada dua versi materi RUU Pengadilan Tipikor. Pertama, RUU Pengadilan Tipikor yang tengah disiapkan pemerintah melalui Departemen Hukum dan HAM. Kedua, versi masyarakat.
Mengutip laporan Komisi Yudisial, Zaenal mengatakan, selama periode September 2006-Februari 2007 sudah ada 77 putusan kasus korupsi dengan 24 perkara atau 31 persen diputus bebas oleh Pengadilan Negeri. Sementara sisanya sebanyak 23 perkara (30%) diputus bersalah dan 30 perkara (30%) masih dalam proses persidangan.
Kondisi yang berbeda, berdasar laporan tahunan KPK dan pengadilan Tipikor menjelaskan semua perkara korupsi sekitar 59 perkara yang telah dilimpahkan ke pengadilan Tipikor akhirnya divonis bersalah. Sebaliknya, proses peradilan bagi pelaku korupsi yang diadili oleh peradilan umum dan oleh majelis hakim divonis bebas.
“Kita menganggap pengadilan khusus bagi koruptor penting. Agar kasus seperti bebasnya Adelin Lis dan bebasnya para terdakwa korupsi APBD di Sumatera Barat oleh MA tidak akan terulang lagi,” katanya. (Humas UGM)