Amenangi jaman edan/ ewuh aya ing pambudi/ melu edan nora tahan/ yen tan melu anglakoni/ boya keduman melik/ kaliren wekasanipun/ dilalah karsa Allah/ begja-begjane kang lali/ luwih begja kang eling lawan waspada.
Demikian penggalan syair R.Ng. Ranggawasita tentang jaman edan, yang dibaca kembali oleh Mendiknas RI, Prof. Dr. Bambang Sudibyo, M.B.A saat berlangsung Seminar Internasional “Aktualisasi Teks-Teks Ranggawarsitan Dalam Konteks 100 Tahun Kebangkitan Nasional†di Auditorium FIB UGM, Jum’at (16/5).
Dikatakannya, terdapat tiga interprestasi bisa dikemukakan atas syair tersebut. Interprestasi dari sisi moral/akhlak atau budipekerti, interprestasi dari sisi sosiologis dan anthropologis serta interpretasi dari perspektif determinisme sejarah.
“Tentu masih terdapat interprestasi lain yang bisa diajukan untuk itu,†katanya.
Dari sisi moral/etika/akhlak atau budipekerti, kata Mendiknas, hidup itu penuh dengan cobaan. Berbagai cobaan dan ujian mendorong orang untuk lupa, lepas dari kendali diri dan berbuat yang merusak dan menodai kesucian dan integritas diri.
Bahkan terkadang cobaan itu sangat berat. Begitu beratnya dan sangat memojokkan, seakan tidak memberikan pilihan. Itulah yang digambarkan dengan jaman edan, ewuh aya ing pambudi. Serba salah, melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya keduman melik kaliren wekasanipun.
“Betul-betul kita dipojokkan. Seolah-olah tidak ada pilihan. Tetapi melalui cobaan dan ujian itulah Tuhan sebetulnya memilih siapa yang terbaik diantara kita,†ujar Prof. Bambang Sudibyo, saat menjadi pembicara kunci di seminar itu.
Lebih lanjut, katanya, ini merupakan proses untuk menentukan siapa yang lulus dan meningkat derajatnya. Atau dapat meningkatkan makhrufnya.
“Nampaknya memang terkesan tidak ada pilihan. Padahal ada pilihan yang lain, pilihan terbaik itu terdapat pada kalimat terakhir yaitu begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada,†tambahnya.
Di bagian akhir syair begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada, kata Mendiknas, melalui cara itulah Tuhan akan memilih siapa yang akan lulus dari ujian. “Akhirnya akan meningkatkan derajat manusia, yaitu yang eling lan waspada. Eling artinya beriman, waspada itu yang bertaqwa pada Tuhan,†tandasnya.
Mendiknas memberikan apresiasi tinggi terhadap penyelenggaraan seminar ini. Karena meski menjadi World Class University, UGM tidak meninggalkan jati diri.
“Tidak meninggalkan kekayaan budaya bangsa dan tidak meninggalkan kearifan yang telah terbukti bertahun-tahun tahan terhadap berbagai ujian jaman,†tukasnya.
Pendapat senada disampaikan Rektor UGM Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D. Iapun menyambut baik penyelenggaraan acara ini, bahwa seminar internasional “Aktualisasi Teks-teks Rangawarsitan Dalam Konteks 100 Tahun Kebangkitan Nasional†membuka harapan untuk menemukan kembali kecerdasan bangsa yang “ketlingsut†saat ini.
Bahwa riwayat pemikiran bangsa, termasuk apa yang dipikirkan Ranggawasita pada abad XIX, telah banyak menghasilkan inspirasi bagi banyak pihak. “Ditengah kompleksitas yang terjadi di jaman ini, rasanya kita memiliki keyakinan bahwa sejak dahulu sudah terdapat pilar-pilar kerangka pemikiran untuk mengatur kehidupan ini, baik untuk pribadi, bangsa maupun keluarga,†ujar Rektor saat membuka seminar.
Oleh karena itu, seminar ini diharapkan memberikan sumbangan inspirasi pada dinamika dunia yang terus berkembang. Bahkan, Rektor berharap kegiatan ini mampu memberikan solusi atas permasalahan bangsa dan dunia yang saat ini sedang menghadapi banyak persoalan yang tersebar dimana-mana.
Seminar dalam rangka Dies ke-62 FIB UGM ini didukung Yayasan Hasyim Djojohadikusumo. Tampak hadir Gusti Moeng (KGR Dra. Wandansari) yang menyampaikan sambutan Gusti Mangkunegara XIII, Dekan FIB UGM Prof. Dr. Syamsul Hadi, Sekretaris MWA Dr. Ir. Ali Wibowo, M.Sc, Wakil Rektor Senior Bidang Pendidikan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Prof. Dr. Retno Sunarminingsih, M.Sc, Apt, staf pengajar dan mahasiswa FIB Jurusan Nusantara program studi Sastra Jawa. (Humas UGM)