YOGYAKARTA – Pemerintah perlu memaksimalkan diplomasi politik luar negeri dalam kompetisi percaturan pasar energi dunia untuk mengamankan pasokan dan kebutuhan energi nasional. Negara-negara besar dunia, seperti India, China, Jepang, dan Korea juga terus mengamankan kebutuhan energi mereka dengan mendapatkan akses energi selain dari Timur Tengah.
Demikian yang mengemuka dalam Seminar ‘Ketahanan Energi di Asia Pasifik dan Implikasinya terhadap Indonesia’, yang diselenggarakan Pusat Studi Enegri (PSE) UGM, Jumat (17/12). Hadir selaku pembicara, pengamat hubungan internasional Dr. Muhadi Sugiono, dan peneliti PSE, Drs. Sudiartono.
Muhadi menjelaskan negara-negara di dunia berupaya untuk mengamankan kepentingan mereka di bidang energi. Terlebih, negara-negera di kawasan Asia Pasifik muncul sebagai aktor baru yang berkontribusi dalam mempercepat peningkatan kebutuhan energi dunia. “Ketergantungan setiap negara dunia semakin tinggi terhadap sumber energi sehingga menimbulkan dinamika yang fluktuatif,” kata Muhadi.
Muhadi menyebutkan China, misalnya, salah satu negara yang menyumbang 12% total energi konsumsi di dunia kini mengembangkan pasar impor luar negeri dengan mendukung perusahaan nasionalnya melakukan eksploitasi di luar negeri, yakni di Asia Tengah dan Rusia, Timur Tengah, dan Afrika Utara, serta Amerika Latin. Sementara itu, Jepang dan Korea Selatan kini mencari alternatif sumber energi selain Timur Tengah, yakni Siberia Timur. “Fenomena ini merupakan fakta masa kini yang dilakukan oleh sejumlah negara industri maju dalam menghadapi tantangan energi di masa depan,” katanya.
Menurut Muhadi, energi menjadi kebutuhan utama negara dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi meskipun dengan risiko harga yang sangat fluktuatif. Kenaikan harga minyak sangat mempengaruhi aktivitas perekonomian negara karena secara langsung akan meningkatkan biaya produksi barang dan jasa dan beban hidup masyarakat. Muhadi mengemukakan empat faktor utama yang mempengaruhi kenaikan harga minyak dunia secara tajam dalam kurun waktu lima tahun terakhir ialah invasi Amerika Serikat ke Irak, permintaan minyak cukup besar dari India dan China, badai katrina dan rita yang melanda Amerika Serikat, yang merusak kegiatan produksi minyak di Teluk Meksiko, dan ketidakmampuan OPEC menstabilkan harga minyak dunia.
Sementara itu, Sudiartono mengetakan negara, seperti China dan India, saat ini sangat agresif untuk mengamankan cadangan energi minyak mereka untuk melindungi perusahaan nasionalnya. Namun, pemanfaatan energi di China betul-betul sepenuhnya dimanfaatkan untuk memproduksi barang dan jasa yang menghasilkan devisa negara. Berbeda dengan Indonesia, lemahnya penguasaan teknologi di segala bidang menyebabkan pemanfaatan energi hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. “Terpenting saat ini melakukan penghematan pemakaian energi, diversifikasi energi selain minyak dan penguasaan teknologi segala bidang,” katanya.
Kepala PSE UGM, Prof. Dr. Jumina, dalam sambutannya menyampaikan ketahanan energi menjadi isu dan komoditas sosial-ekonomi politik yang sangat penting akhir-akhir ini, baik di tingkat nasional maupun internasional. Akibatnya, setiap negara melakukan konsep keseimbangan supply-demand dan sustainability pemenuhan energi. Regulasi energi dan ekonomi di tingkat Asia Pasifik serta kebijakan pengembangan energi terbarukan global, menurut Jumina, perlu mendapat perhatian dari para pemangku kepentingan dalam memperkuat ketahanan energi nasional dan diplomasi energi di kancah global. (Humas UGM/Gusti Grehenson)