YOGYAKARTA – Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) menyampaikan 7 manifesto akademik kepada pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa. Manifesto dibacakan secara bergantian oleh panitia seminar yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A(K), dosen Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik UGM Prof. Dr. Ir. Sudaryono, dan Koordinator Kagama Wilayah Timur, Mulyadi Wowor, usai Seminar Nasional “Jalan menuju Kesejahteraan: Persembahan Kagama untuk Indonesia”, di Grha Sabha Pramana, Sabtu (18/12).
Menurut Sutaryo, saat ini ada tujuh hal yang menjadi prioritas keprihatinan mendalam Kagama, yakni di bidang pendidikan, kebudayaan, politik, ekonomi, teknologi, pangan, dan hukum. “Kagama dengan penuh keprihatinan yang mendalam menangkap hal itu sebagai suatu persoalan bangsa yang menuntut kesegeraan, kejernihan, dan kesungguhan pengambilan langkah nyata untuk membawa bangsa ini keluar dari masalah yang membelit dan dan merintangi setiap langkah untuk meraih kesejahteraan,” katanya.
Di bidang pendidikan, disebutkan Sutaryo, kebijakan pendidikan nasional harus diletakkan sebagai suatu konsensus nasional yang memiliki kapasitas jangka panjang dalam memandu arah pendidikan nasional sehingga kebijakan pendidikan tidak mudah diubah-ubah setiap saat oleh pergantian rezim yang berkuasa. “Dengan perkataan lain, setiap rezim yang berkuasa harus secara sadar tunduk pada konsensus kebijakan pendidikan nasional,” kata Sutaryo.
Aspek kebudayaan dalam pendidikan nasional sangat perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh sehingga Departemen Pendidikan Nasional harus dikembalikan menjadi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Untuk pendidikan nasional yang bertaraf internasional hendaknya mengarah pada pengembangan keunikan lokal yang telah menjadi khasanah kekayaan bangsa sehingga kerja sama internasional diselenggarakan di atas prinsip kesetaraan yang bermartabat. Pendidikan nasional hendaknya memberikan ruang bagi terbangunnya dialog antara budaya lokal, budaya nasional, dengan budaya global untuk diletakkan sebagai modal dasar bagi gerak perubahan bangsa seperti yang telah dilakukan oleh Jepang, China, Korea, dan negara-negara di kawasan Scandinavia.
Di bidang kebudayaan, yang dibacakan Sudarsono, ditegaskan bahwa modal sosial yang telah tumbuh di atas nilai-nilai budaya lokal, agama, dan satuan-satuan sosial masyarakat hendaknya diletakkan sebagai bagian dari ‘delivery system’. “Adapun ‘delivery system’ yang diperankan oleh negara dan pasar seharusnya tidak merusak atau menghancurkan modal sosial yang telah terbangun oleh masyarakat, seperti pada kasus BLT dan raskin,” ujarnya.
Sementara itu, praktik demokrasi seharusnya tidak mengarah pada penghamburan dana yang tidak pantas, yang menyemai niat jahat untuk melakukan praktik korupsi di kemudian hari.
Selanjutnya di bidang ekonomi, dipaparkan bahwa perekonomian nasional harus diselenggarakan dengan mengacu pada perintah konstitusi, yakni menjadikan Sistem Ekonomi Kerakyatan (Economic Democracy) sebagai jalan menuju kesejahteraan. Pemerintah bertanggung jawab untuk menumbuhkan pelaku-pelaku ekonomi lokal yang kuat dalam hal modal, teknologi, sumber daya manusia, manajemen produksi, dan pemasaran yang berskala global sebagai basis membangun kemandirian ekonomi bangsa dan memutus ketergantungan terhadap modal asing.
Di bidang teknologi, pemerintah didesak harus sesegera mungkin menjadikan ‘teknologi pangan’, termasuk dalam hal ini adalah pertanian, peternakan, perikanan, dan kehutanan, sebagai fokus kebijakan pembangunan kemandirian bangsa di bidang teknologi.
Untuk bidang pangan, pemerintah wajib memberikan perlindungan pada kelompok masyarakat yang diidentifikasi rentan dalam mendapatkan akses pangan, seperti petani, pekerja pertanian, nelayan tradisional, perempuan, dan anak-anak. Pemerintah tidak boleh membiarkan muncul dan terjadi monopoli di bidang produksi dan distribusi pangan oleh sekelompok kecil masyarakat. Pemerintah wajib secara sungguh-sungguh mencegah terjadinya konversi lahan pertanian ke kegiatan non-pertanian di Pulau Jawa karena pulau ini mempunyai kontribusi produksi padi sekitar 58 persen dari produksi padi nasional. “Pemerintah hendaknya segera mengambil langkah-langkah konkret berkaitan dengan menurunnya hasil panen padi sebesar 0,5 ton per hektar terkait dengan setiap kenaikan temperatur sebesar satu derajat Celcius akibat terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim,” kata Mulyadi Wowor.
Terakhir, di bidang hukum. Wowor menegaskan intervensi hukum negara terhadap kasus-kasus yang berskala lokal seharusnya tidak menggunakan paradigma kekuasaan, tetapi dalam konteks sosio-anthropologis yang mencakup pendekatan empati, kepedulian, dan kejernihan hati nurani. (Humas UGM/Gusti Grehenson)